Bangkalan – Sungguh tak elok ada muatan kampanye bernuansa negatif tentang “orang pintar” dalam kampanye Pilpres 2024. Tanpa ada tendensi kepentingan politik, kata Wahyudi lulusan Magister Linguistik Universitas Sebelas Maret (UNS), muatannya seperti olok-olok kepada “orang pintar” yang menjadi Capres-Cawapres dalam Pemilu 2024, Kamis (21/12/2023).
Dalam kampanye tersebut menyebutkan, bahwa banyak orang pintar terkadang hanya bisa bicara, tapi minim kerja atau prestasi. Untuk jadi pemimpin, katanya pintar tak cukup kalau tidak bisa bekerja atau berprestasi.
Materi kampanye seperti itu, menurut Wahyudi Peneliti Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi (LsPD) dan PT Tri Dharma Cendekia, bagaikan menabur benih pemahaman reduksi (pengurangan atau pemotongan, red.) tentang istilah “orang pintar”.
Orang pintar, menurut Wahyudi, dalam ranah pendidikan formal adalah orang yang berpendidikan tinggi. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka semakin pintar orang tersebut.
Contohnya, orang dengan pendidikan doktor (S3) akan lebih pintar daripada orang pendidikan magister (S2), sarjana (S1), SMA, SMP, dan SD. Orang yang berpendidikan magister akan lebih pintar daripada orang yang berpendidikan sarjana, SMA, SMP, dan SD.
Itu juga berlaku pada jenjang pendidikan formal ke bawah berikutnya, khususnya berkaitan dengan minat konsentrasi pendidikannya.
Dalam KBBI, ungkap Wahyudi pria enerjik ini, kata “pintar” merupakan kata sifat yang menggambarkan karakter atau sikap seseorang. Kata “pintar” dalam KBBI adalah: (1) pandai; cakap, (2) cerdik; banyak akal, dan (3) mahir (melakukan atau mengerjakan sesuatu).