Jakarta – Perdebatan mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah (Pilkada) kembali memanas setelah Presiden Prabowo Subianto mengusulkan transformasi atau perubahan signifikan. Usulan tersebut, menyarankan Pilkada dilakukan melalui pemilihan oleh DPRD, bukan lagi secara langsung oleh masyarakat.
Alasan utama yang diungkapkan dalam wacana perubahan model Pilkada langsung tersebut adalah karena besarnya biaya politik Pilkada langsung, yang dianggap membebani negara hingga triliunan rupiah, Selasa (17/12/2024).
Namun, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Zulfikar Arse Sadikin, memberikan pandangan berbeda. Politisi Partai Golkar (Golongan Karya) ini menegaskan bahwa perubahan yang dibutuhkan tidak hanya terkait mekanisme, tetapi juga transformasi perilaku para aktor politik.
Menurut alumnus Fisipol UGM ini, yang perlu berubah bukan hanya modelnya, tetapi juga perilaku partai politik, pasangan calon, dan masyarakat sebagai pemilih. Semua pihak harus berkomitmen pada pendidikan politik yang lebih baik, dikutip dari Parlementaria, Senin (16/12/2024).
Menurut Zulfikar, Pilkada langsung tetap relevan jika dilengkapi rekayasa tertentu untuk mengurangi dampak negatifnya. Ia mengusulkan beberapa langkah strategis, seperti optimalisasi Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) untuk memberantas pelanggaran Pilkada, serta pembiayaan partai politik melalui APBN agar partai tidak bergantung pada sponsor.
Zulfikar juga mendukung pemisahan waktu pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal. Dengan merujuk keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), ia menyarankan pemilu daerah dilakukan serentak untuk kepala daerah dan DPRD tingkat kabupaten/kota, sementara pemilu provinsi dilaksanakan setahun kemudian. Pemilu Nasional untuk memilih DPR RI, DPD RI, serta Presiden dan Wakil Presiden dapat menyusul.