Paus Benediktus XVI, dalam salah satu esainya, mengingatkan bahwa kepercayaan akan akhir zaman bukan sekadar ketakutan akan kiamat, tetapi juga harapan akan kehidupan kekal di surga. Gereja menekankan pentingnya hidup dalam iman, kasih, dan pelayanan sebagai persiapan menyambut kedatangan Kristus kembali.
Dalam agama Hindu, konsep akhir zaman terkait dengan siklus kosmis yang disebut “Yuga”. Saat ini, umat manusia diyakini hidup dalam “Kali Yuga”, era terakhir yang ditandai dengan kejahatan, kebohongan, dan kerusakan moral. Ketika Kali Yuga berakhir, diyakini bahwa dewa Wisnu akan menjelma sebagai Kalki untuk menghancurkan kejahatan dan memulai siklus baru (Satya Yuga).
Pemuka agama Hindu, seperti Swami Vivekananda, sering menekankan aspek transformasi spiritual dalam menghadapi era kerusakan ini. Menurutnya, akhir zaman dalam Hindu lebih bersifat simbolis, menggambarkan akhir dari ketidaktahuan dan awal dari kebangkitan spiritual.
Buddhisme memiliki pandangan yang unik tentang akhir zaman. Dalam teks-teks Buddhis, tidak ada gambaran kehancuran dunia secara besar-besaran seperti dalam tradisi agama lainnya. Sebaliknya, akhir zaman sering dikaitkan dengan akhir dari ajaran Buddha (Dharma) di dunia.
Diceritakan bahwa pada suatu saat, ajaran Buddha akan dilupakan, dan umat manusia akan hidup dalam kegelapan moral. Namun, Maitreya, Buddha masa depan, akan lahir untuk mengajarkan kembali Dharma dan membawa pencerahan. Dalai Lama, sebagai pemimpin spiritual Buddhis, mengingatkan umat untuk fokus pada pembebasan diri dari penderitaan melalui meditasi dan kebajikan.
Dalam tradisi Yahudi, akhir zaman disebut sebagai “Olam Ha-Ba” (dunia yang akan datang). Konsep ini berkaitan dengan datangnya Mesias yang akan membawa kedamaian dan keadilan ke dunia. Kitab Yesaya dan kitab Daniel menjadi rujukan utama untuk memahami narasi eskatologis Yahudi.