1. Partai A: 30 dibagi dengan 1, 3, 5, dan seterusnya. Sebagai contoh, 30 dibagi dengan 1 menghasilkan 30, dibagi dengan 3 menghasilkan 10, dibagi dengan 5 menghasilkan 6,67, dan seterusnya.
2. Partai B: 45 dibagi dengan 1, 3, 5, dan seterusnya. Sebagai contoh, 45 dibagi dengan 1 menghasilkan 45, dibagi dengan 3 menghasilkan 15, dibagi dengan 5 menghasilkan 9, dan seterusnya.
3. Partai C: 25 dibagi dengan 1, 3, 5, dan seterusnya. Sebagai contoh, 25 dibagi dengan 1 menghasilkan 25, dibagi dengan 3 menghasilkan 8,33, dibagi dengan 5 menghasilkan 5, dan seterusnya.
Penentuan Kursi
Setelah rasio pembagi dihitung untuk setiap partai, kursi pertama akan diberikan kepada partai yang memiliki rasio pembagi tertinggi. Selanjutnya, rasio pembagi untuk partai tersebut akan dihitung kembali dengan jumlah kursi yang telah mereka dapatkan, kemudian kursi kedua akan diberikan kepada partai dengan rasio pembagi tertinggi dalam perhitungan ini. Proses ini akan terus berlanjut hingga seluruh kursi telah dibagikan.
Keunggulan Metode Sainte-Laguë
Metode Sainte-Laguë dianggap lebih adil daripada metode pembagian kursi lainnya, seperti metode D’Hondt, karena memiliki kecenderungan untuk memberikan kursi tambahan kepada partai-partai kecil yang mendapatkan jumlah suara yang signifikan. Hal ini membantu memastikan representasi yang lebih merata di parlemen.
Penerapan di Indonesia
Di Indonesia, metode Sainte-Laguë digunakan dalam Pemilu untuk menentukan pembagian kursi di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Metode ini pertama kali digunakan dalam Pemilu 2009 dan telah menjadi bagian penting dari proses demokrasi di Indonesia sejak itu.