Banggar DPR RI Desak Bubarkan WTO, IMF, dan Bank Dunia karena Kebijakan Tarif AS Melanggar Prinsip Multilateral

Avatar
Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan. Ia menyatakan bahwa kebijakan tarif AS melanggar prinsip multilateral, kerenanya WTO, IMF, dan Bank Dunia apabila tak bisa menjalankan tugas secara adil agar dibubarkan.
Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan. Ia menyatakan bahwa kebijakan tarif AS melanggar prinsip multilateral, kerenanya WTO, IMF, dan Bank Dunia apabila tak bisa menjalankan tugas secara adil agar dibubarkan. (Foto: Dok/Andri, 2025)

Jakarta – Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah, mengajak seluruh negara untuk kembali mengedepankan prinsip multilateral dalam menyikapi dinamika global. Ia menekankan pentingnya memfungsikan kembali lembaga-lembaga internasional seperti WTO, IMF, dan Bank Dunia sesuai mandat awal pembentukannya, Kamis (24/07/2025).

Said Abdullah menyatakan, “Saya mengajak semua negara untuk berfikir secara multilateral. Saatnya WTO membuktikan diri bahwa mereka duduk untuk kepentingan internasional,” kutip Parlementaria, Jakarta, Rabu (23/07/2025).

Ia menyoroti ketimpangan yang terjadi sejak perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China pada 2018. Menurutnya, kebijakan sepihak AS dalam memberlakukan tarif terhadap banyak negara menunjukkan gejala menuju tatanan internasional yang tak beraturan.

Said Abdullah menyebut, “Lucu sekaligus sedih, tidak ada satupun negara yang membawa kasus ini ke sidang WTO. Semua ramai-ramai berunding dengan AS dengan posisi tawar yang lemah. Jadinya bukan berunding, tetapi mengiba belas kasih.”

Ia mengingatkan bahwa semangat awal pendirian GATT, yang kemudian berkembang menjadi WTO pada 1995, adalah untuk mendorong perdagangan bebas secara adil dengan prinsip non-diskriminasi, transparansi, dan perlakuan yang setara. Ia menambahkan bahwa negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, awalnya dipaksa ikut dalam sistem perdagangan bebas yang didominasi negara maju.

“Negara-negara berkembang seperti Indonesia ‘babak belur’, seperti pertarungan Daud dan Goliat di gelanggang perdagangan bebas, karena ketimpangan kualitas produk, harga, dan kapasitas produksi,” katanya.

Meskipun demikian, Said mencontohkan bahwa banyak negara berkembang telah bangkit, seperti Vietnam, Thailand, Indonesia, dan China yang kini menjadi kekuatan dominan dalam perdagangan internasional. Ia menyebutkan bahwa pada 2024, nilai perdagangan global China mencapai USD 6,164 miliar, mengalahkan AS yang sebesar USD 5,424 miliar.

Tinggalkan Balasan