“Itu di kami, karya dan ide kami, bukan dinas pendidikan,” tegas Miko.
Siapa sangka, pandangan ini malah tak digubris oleh Diskominfo Sumenep. Malahan, pihak dinas menyarankan untuk materi pendidikan bisa dikonfirmasi ke OPD lain seperti Bappeda.
“Kan bisa ke Bappeda, tidak harus ke dinas pendidikan. Coba tulis soal SMA yang di Kalianget itu,” kata Kabid Informasi dan Komunikasi Diskominfo Sumenep, Sujatmiko, saat ditemui wartawan di kantornya belum lama ini.
Bukti lain, tidak hanya terjadi saat berkolaborasi bersama dinas pendidikan, program pentahelix dengan Disbudporapar juga dinilai amburadul.
Hal ini dibuktikan dengan sejumlah kegiatan atau event yang sudah berlangsung. Misalnya saja, Festival Jaran Serek yang banyak kecaman dari beberapa pihak termasuk DPRD Sumenep.
Ketua Komisi IV DPRD Sumenep, Akis Jasuli, mengkritik keras terkait event tersebut.
Dia menyampaikan, ada banyak penyimpangan makna dari diselenggarakannya Festival Jaran Serek tersebut.
“Jangan ada penyesatan dan pembodohan terhadap masyarakat terkait otentikasi kebudayaan dan tidak boleh ada distorsi historical culture,” kata Akis dalam keterangannya, Minggu (19/5/2024) lalu.
Akis menilai, penggunaan istilah dalam materi promosi Festival Jaran Serek tidak mencerminkan makna asli dari tradisi tersebut.
“Hal ini yang dapat menyesatkan masyarakat tentang otentikasi kebudayaan. Penggunaan istilah dalam materi promosi acara Festival Jaran Serek disebut-sebut tidak mencerminkan makna asli dari tradisi itu,” kata Akis menegaskan.
Senada dengan itu, Budayawan Sumenep, Tadjul Arifin R, turut mengomentari Festival Jaran Serek yang digelar Pemkab setempat.