Santri dan alumni adalah dua elemen yang tak bisa dipisahkan. Santri berbicara tentang pencarian ilmu dan pembekalan diri, sementara alumni lebih fokus pada pengabdian. Sebagai bagian dari keduanya, penulis ingin mengulas tentang darma alumni. Karena penulis juga merupakan mahasiswa semester akhir yang tengah menyelesaikan skripsi, pembahasan ini akan lebih spesifik pada peran alumni yang juga masih berproses sebagai mahasiswa.
Secara etimologi, kata “darma”, “khidmat”, dan “ngabdi” berasal dari akar yang sama, yaitu menyerahkan kehidupan sebagai pembantu bagi yang ia abdi. Sebagai contoh, Ibnu Abbas, ketika masih kecil, pernah mengambilkan air untuk Nabi Muhammad SAW saat beliau dalam keadaan membutuhkan. Meskipun kita mungkin menganggapnya sebagai hal kecil, itulah pengabdian yang sejati—tanpa mengenal besar atau kecilnya tugas. Pengabdian berarti ikhlas menjadi pembantu.
Dalam konteks organisasi IMANC, pengabdian berarti tidak membiarkan organisasi ini stagnan atau vakum. Hal yang lebih mendalam lagi adalah pengabdian sebagai parameter ketaatan seorang santri kepada kyai. Bukankah di Pondok Pesantren Nurul Cholil terdapat norma “mon tak atoro’ guruh takok neng belet”? Ini menunjukkan bahwa taat kepada kyai adalah dasar pengabdian.
Sebagai tambahan, mari kita kutip salah satu perkataan Gus Kautsar: “وَعَلَى قَدَرِ الْمَحَبَّةِ تَكُونُ سَرَايَةُ الْحَالِ” (“… sesuai kadar kecintaan terhadap masyaikh, maka insyaallah sedalam itu pula karakter masyayikh merasuki jiwa kita”). Pernyataan ini menunjukkan bahwa pembentukan karakter pada seorang santri itu sesuai dengan kadar kecintaan dan pengabdian kita kepada seorang guru. Sebagai santri Nurul Cholil yang telah dipimpin oleh tiga generasi pengasuh—K.H. Munthasor, K.H. Zubair Muntashor, dan K.H. Abdullah Zubair—kita mengenal tiga karakter mulia mereka: zuhud, disiplin, dan kesabaran. Sejauh mana karakter ini tertanam dalam diri santri, itulah yang akan menunjukkan kecintaan kita.