Namun, menurut konsultan ahli politik alumni UI ini, pada titik ini, belum terjadi radikalisasi di DPR RI. Agenda pemakzulan (Presiden Jokowi, red.) hanya berakhir di panggung diskusi dan tidak menjadi agenda politik.
Ketiga, krisis kebijakan atau gagalnya kebijakan. “Selama ini kita dicekoki hasil survei yang tidak tuntas, berupa tingkat kepuasan pemilih terhadap Presiden Jokowi. Ada yang menyebut mencapai 75%, ada juga yang di atas 80%,” paparnya.
Kontradiksi dengan survei-survei tersebut, survei PolMark tidak hanya menyoroti kepuasan publik pada Presiden Jokowi, tapi juga menyampaikan pertanyaan lain terkait dengan penilaian pemilih terhadap keadaan mereka. Seperti kenaikan harga bahan pokok, korupsi, pembangunan infrastruktur, dan kemudahan mencari pekerjaan.
Hasilnya (hasil survei PolMark, red.), ungkap Eep, terkait kasus-kasus tersebut jawaban publik buruk. “… Publik dan pemilih menilai keadaan tidak baik-baik saja,” ungkapnya.
Keempat, krisis elektoral. Menurut hasil surveinya, dalam Pilpres 2024 ia menemukan kurang dari 40% akan memilih Prabowo-Gibran yang merepresentasikan Jokowi. Bahkan, di segmen pertanyaan lain, menemukan bahwa hanya 20% lebih sedikit yang mengatakan Presiden Jokowi yang mereka timbang ketika akan memilih Capres-Cawapres di Pilpres 2024.