John Locke adalah salah satu filsuf empiris paling terkenal. Dalam karyanya yang terkenal, “An Essay Concerning Human Understanding,” ia mengembangkan teori pengalaman yang sangat berpengaruh. Menurut Locke, pikiran manusia pada awalnya adalah tabula rasa, atau “lembaran kosong,” yang kemudian diisi dengan pengalaman indrawi.
George Berkeley adalah filsuf empiris berikutnya yang berpengaruh. Ia mengembangkan pandangan idealisme imaterial, yang menyatakan bahwa hanya ada pikiran dan ide yang benar-benar nyata. Baginya, benda-benda fisik hanya kumpulan dari ide-ide yang dipercayai oleh pikiran.
David Hume, seorang filsuf Skotlandia, juga memberikan kontribusi besar terhadap pemikiran empiris. Dalam karyanya yang terkenal, “An Enquiry Concerning Human Understanding,” ia menekankan pentingnya pengamatan dan pengalaman dalam pembentukan pengetahuan. Hume juga mengkritik gagasan tentang kausalitas, menyatakan bahwa kita tidak dapat secara langsung mengamati koneksi penyebab-akibat di dunia.
Meskipun empirisme mencapai puncaknya pada abad ke-17 dan ke-18, pengaruhnya masih terasa kuat hingga saat ini. Metode ilmiah yang didasarkan pada pengamatan, eksperimen, dan verifikasi telah menjadi pijakan dalam banyak disiplin ilmu, termasuk fisika, biologi, dan psikologi.
Meskipun empirisme telah memberikan kontribusi besar terhadap pemikiran manusia, ia juga dikritik oleh beberapa filsuf dan ilmuwan. Salah satu kritik utama adalah bahwa tidak semua pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman indrawi. Misalnya, konsep-konsep seperti keadilan, kebaikan, dan kebenaran tidak selalu dapat diamati secara langsung.