HUBUNGAN antara etnis Madura dan Jawa mencerminkan dinamika kekuasaan yang timpang dan penuh ketegangan. Jawa, dengan posisinya sebagai pusat kekuasaan politik, ekonomi, dan budaya di Indonesia, sering kali menjadi representasi dari dominasi yang dialami oleh etnis Madura.
Relasi ini tidak hanya bersifat struktural, tetapi juga hadir dalam bentuk diskriminasi rasial yang kerap menempatkan orang Madura dalam posisi subordinat. Bagi saya yang lahir di Bangkalan, Jawa adalah kolonial domestik, kekuatan yang terus mendikte dan mencoba selalu meminggirkan orang Madura dalam berbagai aspek kehidupan.
Pandangan ini dapat ditelusuri dari sejarah kolonial yang membentuk cara pandang terhadap hubungan antar-etnis di Indonesia. Dalam buku The History of Java yang ditulis Thomas Stamford Raffles pada tahun 1817, misalnya, Madura tidak pernah menjadi subjek utama. Narasi dalam buku tersebut sangat didominasi oleh sudut pandang elit Jawa, baik yang kolonial maupun pribumi.
Sementara orang Madura hanya disebut secara sepintas sebagai bagian dari catatan kaki, tanpa penghargaan yang memadai terhadap pengalaman dan kontribusi mereka. Cara pandang seperti ini telah mengakar dalam relasi sosial-politik di Indonesia, di mana Jawa sering kali dianggap sebagai pusat peradaban, sementara Madura dan etnis lain diposisikan sebagai pinggiran.
Relasi kolonial domestik ini tidak hanya terjadi di tingkat narasi sejarah, tetapi juga hadir dalam kehidupan sehari-hari melalui diskriminasi rasial terhadap orang Madura. Orang Madura sering kali dianggap kasar, keras, atau bahkan biang konflik dalam berbagai ketegangan sosial.