Dominasi Jawa atas Madura juga terlihat dalam aspek budaya dan pendidikan. Kurikulum nasional yang sangat berorientasi pada Jawa mengabaikan keberagaman budaya di Indonesia. Bahasa Jawa diajarkan secara luas di sekolah-sekolah, bahkan di wilayah-wilayah dengan populasi Madura yang signifikan.
Sebaliknya, bahasa dan budaya Madura hanya menjadi pelengkap yang jarang mendapat tempat. Hal ini menciptakan tekanan bagi anak-anak Madura untuk beradaptasi dengan norma-norma Jawa, sekaligus menanamkan rasa inferioritas terhadap identitas budaya mereka sendiri. Orang Madura sering kali dipaksa untuk menyembunyikan identitas mereka agar diterima dalam lingkungan sosial yang didominasi oleh budaya Jawa.
Ketimpangan ini tidak hanya terjadi di tingkat simbolik, tetapi juga sangat nyata dalam kebijakan politik dan ekonomi nasional. Sentralisasi kekuasaan yang berpusat di Jakarta—sebagai representasi dominasi budaya Jawa—sering kali mengabaikan kebutuhan spesifik wilayah seperti Madura.
Banyak kebijakan pembangunan dirancang tanpa melibatkan masyarakat lokal, sehingga dampaknya sering kali bersifat eksploitatif. Misalnya, eksploitasi sumber daya alam di Madura dilakukan tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan atau kesejahteraan masyarakat. Program-program pembangunan sering kali lebih menguntungkan pihak-pihak di Jawa, sementara Madura hanya menerima dampak negatifnya.
Namun, orang Madura tidak pasif menghadapi ketimpangan ini. Tradisi resistensi mereka, meskipun sering disalahpahami, merupakan bentuk perlawanan terhadap dominasi yang mereka alami. Misal pembengkangan yang dianggap sebagai simbol kekerasan, sebenarnya merupakan ekspresi perlawanan terhadap ketidakadilan.