Jadi menurut definisi, apa pun yang diizinkan hukum menjadi moral. Pertanyaan apakah putusan hukumnya bermoral atau tidak hampir tidak pernah ditanyakan. Hanya karena tidak ada kriteria moral independen yang tersisa untuk menilai hukum.
Sebagai contoh nyata, perhatikan kasus pernikahan anak. Bagi banyak dari kita hari ini “Perkawinan” antara seorang gadis berusia sembilan tahun dengan seorang pria tua berusia enam puluh tahun akan tampak tidak manusiawi.
Begitu juga dengan tragedi putusan MK atas Gibran atau perihal presiden yang dengan percaya diri memberikan pernyataan kebolehan dirinya ikut serta dalam berkampanye adalah bagian yang tidak bermoral. Hal inilah di kemudian hari hingga hari ini dinilai tidak etis dan berpotensi melukai hati jutaan rakyatnya yang berbeda pilihan.
Tapi, siapa yang peduli dengan semua itu, jika satu-satunya kriteria mereka untuk menilai “baik” dan “buruk” hanyalah aturan hukum.
Dalam literatur yurisprudensi Islam klasik masalah semacam ini sudah diberikan peringatan dengan munculnya hiyal atau “tipuan legalistik”. Hal ini mengacu pada solusi yang ditawarkan para ahli hukum untuk menghindari larangan hukum dengan tetap melaksanakan hukum yang tertulis.
Sementara, taktik semacam ini menawarkan pragmatisme yang membantu dalam menghadapi aturan yang kaku, sekaligus taktik semacam ini juga membuka jalan bagi kemunafikan belaka.
Kasus yang populer adalah kasus orang kaya yang “memberikan” sebagian besar kekayaannya kepada anak-anaknya yang masih kecil tepat sebelum jatuh tempo tahunan pajak zakat, hanya untuk mendapatkan kembali setelah membayar pajaknya. Tentu hal ini tidaklah bermoral, tapi ini legal dan legalitaslah yang dianggap benar-benar penting.