Opini  

Hiyal (Tipuan Legalistik) sebuah Ketaatan yang Tidak Bermoral

Ilustrasi salah satu paslon kontestan Pilpres 2024 (Foto: MP)

Dalam kata-kata Abou El Fadl, kebanyakan dari kita memproyeksikan beban moralitas ke dalam hukum. Implikasinya adalah ketika mereka memiliki hukum yang benar, mereka akan dengan mudah membenarkan hal-hal yang secara objektif tidak etis.

Sementara, jika kita hendak berbicara etika lebih panjang dan lebar. Dari sisi keberadaannya, etika dapat dibagi sekurang-sekurannya menjadi dua bagian. Yang pertama, adalah etika deontologis, ia adalah norma moral yang mengikat bukan karena akibatnya baik atau buruk, melainkan karena memang itulah yang benar atau tidak benar pada dirinya sendiri.

Sementara yang kedua adalah etika teleologis, yang berpandangan bahwa suatu tindakan dinilai benar atau salah, tergantung dari apakah akibat-akibat (yang mau dicapai melalui)-nya baik atau buruk; pada dirinya sendiri setiap tindakan bersifat netral.

Etika teleologis di atas memiliki dua wajah, yaitu etika teleologis egois yang memandang bahwa benar tidaknya tindakan bergantung dari baik buruknya akibat bagi mereka, si pelaku sendiri (egoisme etis); dan etika teleologis universalis yang memandang bahwa benar tidaknya tindakan tergantung dari baik buruknya akibat bagi semua yang terkena dampak tindakan itu (utilitarisme).

Dan seharusnya presiden atau pejabat publik secara umum memiliki etika kebahagiaan (teleologis) itu. Sebab ia mengajak untuk hidup sedemikian rupa hingga mencapai/mendekati kebahagiaan; termasuk etika kebijaksanaan karena ajakan itu akan diikuti oleh orang bijaksana (norma-norma moral ditaati oleh orang bijaksana), sementara etika kewajiban (deontologis) adalah norma-norma moral yang ditaati karena wajib.

Eksplorasi konten lain dari Madurapers

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca