Sunaryo memaparkan pada periode 1999 dan 2004 Indonesia sudah menikmati keterbukaan politik. “Namun, sebagaimana yang kita saksikan saat ini demokrasi dan politik mengalami kemunduran. Sistem politik yang terbuka ternyata tidak melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang diharapkan (yang terbaik) dengan prinsip meritokrasi. Sistem ini diokupasi oleh para kaum pemodal yang bisa membeli suara.” Paparnya.
Parliamentary threshold tidak selalu berjalan dengan mulus. Ada situasi dimana kita semakin gamang untuk tetap seperti itu dalam konsekuensi. Saat ini NGO mengalami pelemahan, dimana untuk mendapatkan donor dari pihak funding harus mendapatkan persetujuan dari kementerian dan harus sejalan dengan pemerintah. “Sehingga disini menjadi EO dan menjalankan proyek dari pemerintah dan sangat sedikit untuk bertahan” tegasnya.
“Demokrasi sudah selesai dalam konteks tersebut, sehingga penguatan good governance juga sangat penting disaat good governance juga mengalami keterpurukan. Persepsi korupsi di Indonesia masih tinggi dan dilakukan dengan trik yang semakin canggih agar tidak terpantau oleh KPK dimana wewenang KPK semakin dikurangi” tutur Sunaryo.
Dalam merespon keadaan demokrasi dan perpolitikan yang runyam terakhir, sikap dan perilaku masyarakat sipil muslim dengan organisasi Islam telah menciptakan ironi. Ormas Islam yang ada cenderung menjadi alat stempel dan tidak peduli dengan keadaan yang terjadi. Peran organisasi Islam tidak cukup mampu untuk menjaga demokrasi tetap tegak berdiri di Indonesia. Padahal, organisasi Islam seharusnya memposisikan diri sebagai masyarakat sipil yang menjaga prinsip reasonableness dalam demokrasi.