Selain itu, kalender ini juga mencerminkan keterkaitan umat dengan alam, khususnya dengan siklus bulan (Al-Qaradawi, 2001).
Salah satu keunikan kalender Hijriyah adalah metode penentuannya. Penentuan awal bulan dilakukan melalui rukyatul hilal (pengamatan langsung bulan) atau hisab (perhitungan astronomis).
Kedua metode ini sering menjadi bahan diskusi di kalangan ulama, namun keduanya bertujuan untuk memastikan akurasi penanggalan sesuai syariat Islam (Djamaluddin, 2016).
Sebagai contoh, pada penentuan awal Ramadan, umat Islam di seluruh dunia sering melakukan rukyatul hilal dengan berbagai cara. Hal ini mencerminkan bagaimana ilmu pengetahuan, seperti astronomi, dipadukan dengan tradisi keagamaan.
Menurut Thomas Djamaluddin, ahli astronomi, penggunaan teknologi modern untuk menghitung posisi bulan membantu meminimalkan perbedaan dalam penetapan awal bulan (Djamaluddin, 2016).
Kalender Hijriyah juga diakui secara resmi di berbagai negara Islam. Beberapa negara, seperti Arab Saudi, menggunakan kalender Hijriyah sebagai kalender resmi untuk keperluan administratif dan pemerintahan.
Hal ini berbeda dengan banyak negara mayoritas Muslim lainnya yang menggunakan kalender Masehi untuk keperluan sehari-hari, namun tetap mengacu pada kalender Hijriyah untuk acara keagamaan (Glassé, 2001).
Meski demikian, penggunaan kalender Hijriyah menghadapi tantangan. Salah satunya adalah perbedaan penentuan awal bulan yang sering terjadi di berbagai negara atau bahkan dalam satu wilayah.
Namun, perbedaan ini sering dianggap sebagai bentuk rahmat dan keberagaman dalam Islam (Ahmad, 2017).
Sejarah kalender Hijriyah tidak lepas dari keputusan Khalifah Umar bin Khattab. Pada masa pemerintahannya, beliau menetapkan sistem penanggalan ini untuk mempermudah administrasi dan pengelolaan negara.