Arena Kekuatan Massa dan Konflik Fisik
Pada Juli 2025, ketegangan memuncak menjadi bentrokan fisik antara massa pendukung kedua kelompok di Pemalang, Jawa Tengah, yang menyebabkan 15 orang terluka dan minggu kemarin juga terjadi penganiayaan terhadap salah seorang santri PWI oleh salah satu pentolan Ba’alawi yang sangat kontroversial yaitu Bahar bin Smith di Tangerang Banten, hal ini terjadi saat pelaksanaan perayaan Maulid Nabi.
Peristiwa ini menunjukkan bagaimana wacana yang memanas dapat dengan cepat bermetamorfosis menjadi kekerasan nyata. Meskipun aparat kepolisian telah mengadakan koordinasi sebelumnya, konflik ternyata tidak terelakkan. Insiden tersebut menjadi bukti nyata bahwa perseteruan telah melibatkan mobilisasi massa, sebuah faktor yang rawan dimanfaatkan oleh pihak-pihak dengan kepentingan tertentu.
Peran Aktor Negara dan Pengusaha Dalam Bayang-Bayang Teori Pengalihan Isu
Di sinilah analisis menjadi lebih kompleks. Di balik keributan yang menghiasi media sosial dan pemberitaan lokal, terdapat aktor-aktor powerful yang diam-diam mungkin memainkan peran. Pertanyaan kritisnya adalah “Siapa yang diuntungkan dari konflik horizontal semacam ini?”
TNI dan Polri, Penjaga Keamanan atau Pihak yang Diuji?
Dalam konteks ini,TNI dan Polri berada dalam posisi ganda. Di satu sisi, mereka memiliki tugas konstitusional untuk menegakkan hukum dan menciptakan keamanan, seperti upaya Polri yang memfasilitasi mediasi dalam beberapa kejadian.
Namun, di sisi lain, instabilitas sosial dapat menjadi justifikasi untuk memperkuat aparatus keamanan atau bahkan mengalihkan perhatian dari kasus-kasus yang melibatkan oknum mereka sendiri.
Jika negara terlihat sibuk memadamkan konflik komunal, maka pelanggaran HAM atau keterlibatan dalam eksploitasi sumber daya alam yang sering kali melibatkan jaringan yang kompleks (termasuk oknum militer dan pengusaha) bisa menjadi kurang terpantau oleh media dan masyarakat.
Pengusaha Besar dan Kepentingan di Balik Keributan
Para pengusaha besar,khususnya yang bergerak di bidang ekstraktif sumber daya alam, memiliki kepentingan langsung agar pemberitaan tentang aktivitas mereka tidak menjadi sorotan utama. Konflik identitas yang menggema keras adalah alat pengalihan isu (smokescreen) yang sempurna.
Sementara publik sibuk memperdebatkan nasab dan otoritas keagamaan, kegiatan “perampokan sumber daya” seperti alih fungsi lahan yang tidak transparan, pencemaran lingkungan dari tambang, atau korupsi perizinan dapat berjalan tanpa hambatan. Dalam situasi dimana masyarakat terfragmentasi, sulit membangun solidaritas untuk mengawasi dan menuntut akuntabilitas pengelolaan kekayaan bangsa.