Teori Toksonomi Herbert George Wells
Untuk melihat lebih jelas dan ciamik hubungan dan ulasan antara literasi, bahasa dan budaya. saya ingin menambahkan dengan beberapa gagasan yang ditulis oleh Herbert George Wells yang diterbitkan dalam Jurnal Interchange tentang belajar (apprenticeship) literasi. Artikel ini sangat berpengaruh, termasuk di dalam pendidikan di Indonesia. Apa yang menarik dari gagasan G. Wells adalah anggapannya bahwa literasi adalah sebuah skill alias keterampilan. Dengan kata lain, keterampilan bernama literasi ini perlu dilatih dan ditekuni oleh seseorang agar dia menjadi seseorang yang literat.
Pada saat seseorang sudah menjadi literat, pada saat itulah literasi menjadi suatu watak (bahasa dan budaya) seseorang. Literasi menjadi suatu disposition.
Hal lain yang patut diapresiasi dari gagasan G. Wells adalah taksonominya. Dia membagi literasi menjadi empat level: pertama, level performatif, yakni saat seseorang bisa mengucapkan kode-kode bahasa atau menuliskan kode-kode itu ke dalam tulisan. Singkatnya, level ini serupa dengan istilah yang kita pakai: ‘melek aksara’. Orang yang tidak memiliki skill literasi di level ini biasanya kita sebut ‘buta aksara’.
Kedua, level fungsional, yakni kemampuan seseorang untuk mengoperasikan bahasa dalam konteks tertentu. Sejauh tentang membaca dan menulis, orang yang berkemampuan literasi fungsional berarti punya kemampuan membaca koran, bisa menulis surat secara sopan, mampu mengikuti instruksi tekstual tentang–misalnya–cara menggunakan komputer, sanggup menyelesaikan formulir resmi tertentu, atau lain-lainnya.