Pada saat seseorang sudah menjadi literat, pada saat itulah literasi menjadi suatu watak (bahasa dan budaya) seseorang. Â Literasi menjadi suatu disposition.
Hal lain yang patut diapresiasi dari gagasan G. Wells adalah taksonominya. Dia membagi literasi menjadi empat level: pertama, level performatif, yakni saat seseorang bisa mengucapkan kode-kode bahasa atau menuliskan kode-kode itu ke dalam tulisan. Singkatnya, level ini serupa dengan istilah yang kita pakai: ‘melek aksara’. Orang yang tidak memiliki skill literasi di level ini biasanya kita sebut ‘buta aksara’.
Kedua, level fungsional, yakni kemampuan seseorang untuk mengoperasikan bahasa dalam konteks tertentu. Sejauh tentang membaca dan menulis, orang yang berkemampuan literasi fungsional berarti punya kemampuan membaca koran, bisa menulis surat secara sopan, mampu mengikuti instruksi tekstual tentang–misalnya–cara menggunakan komputer, sanggup menyelesaikan formulir resmi tertentu, atau lain-lainnya.
Ketiga, level informasional, yaitu kemampuan menyerap ‘pengetahuan’ dari teks tertentu atau menyampaikan ‘pengetahuan’ itu melalui tuturan atau tulisan. Kata ‘pengetahuan’ perlu jelas di sini, sebab ia berbeda jauh dengan sekadar ‘informasi’ atau ‘opini’. Pengetahuan yang dimaksud di sini adalah pengetahuan berbasis disiplin ilmu tertentu. Literasi di level ini berarti kemampuan seseorang untuk mempelajari suatu ilmu pengetahuan melalui teks, entah dengan membaca ataupun dengan menulis.
Keempat, level epistemik, yakni skill literasi yang melampaui sekadar mode komunikasi, sebagaimana terlihat dalam ketiga level sebelumnya. Dengan literasi epistemik, seseorang sanggup menemukan cara-cara mengubah dirinya dan mengubah masyarakat di mana dia hidup. Singkat kata, skill literasi epistemik adalah gabungan antara mode komunikasi dan cara berpikir. Sikap yang didorong oleh skill ini adalah kreativitas, eksplorasi, dan evaluasi kritis. pada tahap ini literasi sudah menjadi semacam budaya (literat).