Opini  

Melihat Eksistensi Sistem Noken di Papua: Hukum, Budaya, dan Asas Pemilu

Madurapers
Foto Penulis/Amira Hasna Salsabila, Universitas Airlangga
Foto Penulis/Amira Hasna Salsabila, Universitas Airlangga (Sumber foto: Penulis/Amira Hasna Salsabila, 2024).

Faktor-faktor seperti ketergantungan ekonomi, hierarki sosial, dan pengaruh kuat pemimpin adat dapat membuat individu merasa terpaksa untuk memilih sesuai dengan harapan kelompok atau pemimpin mereka. Dalam konteks ini, pertanyaan muncul tentang seberapa jauh proses pemilihan umum dalam sistem noken benar-benar mencerminkan kehendak serta kepentingan asli dari setiap pemilih.

Kritik terhadap sistem noken semakin terdengar karena potensi adanya pembatasan terhadap kebebasan individu dalam mengekspresikan pendapat politik mereka. Meskipun ada upaya untuk memelihara budaya dan tradisi lokal, penekanan yang terlalu kuat pada struktur hierarkis dan otoritarian dalam sistem noken dapat memicu ketidakadilan politik.

Seiring dengan itu, pemilih yang mungkin memiliki pandangan berbeda atau kritis terhadap pemimpin adat atau kebijakan lokal mungkin merasa terdorong untuk menahan diri atau bahkan menerima tekanan untuk memilih sesuai dengan norma sosial yang ada.

Dalam menyikapi permasalahan ini, perlunya dilakukan evaluasi mendalam terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang mendasari sistem noken. Reformasi yang lebih substansial mungkin diperlukan untuk memastikan bahwa hak-hak politik dan kebebasan individu dihormati sepenuhnya.

Langkah-langkah seperti memperkuat mekanisme perlindungan hak asasi manusia, mendukung partisipasi politik yang lebih aktif dari warga Papua, dan mempromosikan budaya dialog dan pluralisme politik dapat membantu mengatasi ketidakseimbangan kekuasaan dan memperkuat fondasi demokrasi di Papua. Dengan demikian pemerintah dan pemimpin adat di Papua untuk bersama-sama memperjuangkan proses politik yang lebih inklusif dan demokratis.

Ini melibatkan upaya konkret untuk menjamin kebebasan berpendapat dan mengekspresikan pilihan politik tanpa rasa takut atau penindasan. Hanya dengan menghormati hak-hak individu dan membangun sistem yang memungkinkan partisipasi yang sejati, Papua dapat menuju kepada representasi politik yang lebih akurat dan inklusif bagi semua warganya.

Salah satu tantangan terbesar sistem noken adalah dalam menjaga kerahasiaan suara. Kepala suku sering kali memiliki akses ke informasi pribadi dan politik dari anggota masyarakat mereka, termasuk pilihan politik mereka.

Kekurangan ini dalam menjaga kerahasiaan suara dapat mempengaruhi kebebasan individu dalam memberikan suara mereka tanpa takut atau tekanan dari pihak lain. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang integritas dan validitas proses pemilihan umum dalam sistem noken, serta menyoroti perlunya peningkatan dalam perlindungan hak-hak demokratis individu dalam konteks ini.

Kepala suku sering kali mengetahui pilihan setiap individu di dalam masyarakat mereka, yang berpotensi mengancam kebebasan dan kerahasiaan dalam memberikan suara. Pernyataan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang diperbolehkannya sistem noken memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat dan pengamat politik.

Meskipun diakui sebagai bagian dari warisan budaya dan tradisi Papua, keberadaan sistem noken menjadi subjek perdebatan dalam ranah hukum, terutama terkait dengan prinsip-prinsip demokrasi yang kuat. Pendukung sistem noken menegaskan perlunya menghargai dan mempertahankan kearifan lokal serta budaya adat Papua, sementara kritikus menyoroti ketidaksesuaian sistem ini dengan prinsip-prinsip demokrasi yang merata dan transparan.

Dengan demikian, eksistensi sistem noken di Papua tetap menjadi fokus perdebatan yang kompleks, yang mempertemukan antara perlindungan budaya dan tradisi lokal dengan prinsip-prinsip demokrasi yang universal.

 

***Amira Hasna Salsabila, Universitas Airlangga