Kedua, Falsifikasi: jika prediksi dari sebuah teori tidak sesuai dengan hasil uji coba, maka teori tersebut haruslah dinyatakan salah atau “falsifikasi”. Dengan kata lain, sebuah teori tidak pernah menjadi “benar”, tetapi hanya bisa bertahan sampai bukti yang lebih baik muncul untuk menolaknya.
Ketiga, Pembaruan Teori: salah satu kekuatan dari falsifikasionisme adalah kemampuannya untuk memacu perkembangan ilmiah. Jika sebuah teori berhasil dipatahkan, itu berarti ada ruang untuk mengembangkan teori baru yang lebih baik dan akurat.
Contoh sederhana falsifikasionisme: Bayangkan Anda memiliki teori bahwa semua angsa berwarna putih. Anda menguji teori ini dengan mencari angsa di seluruh dunia dan menemukan bahwa semuanya putih. Namun, saat Anda pergi ke Kota Lombok, Anda menemukan seekor angsa hitam. Dengan menemukan satu kasus yang tidak sesuai dengan teori Anda, teori itu dapat dipatahkan.
Falsifikasionisme Popper memainkan peran kunci dalam evolusi ilmiah selama abad ke-20. Ini telah membantu mengatasi berbagai tantangan metodologis yang dihadapi oleh ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang-bidang seperti fisika dan biologi. Misalnya, teori relativitas Einstein dan teori evolusi Darwin, meskipun sudah dianggap sebagai teori yang mapan, tetap terbuka untuk diuji dan dipalsukan.
Namun, falsifikasionisme tidak hanya relevan dalam konteks ilmiah. Prinsip-prinsipnya juga dapat diterapkan dalam berbagai bidang kehidupan manusia, termasuk politik dan agama. Dalam politik, konsep ini mengingatkan kita untuk selalu skeptis terhadap klaim otoritas dan untuk mencari bukti yang mungkin untuk menentangnya. Sementara dalam agama, falsifikasionisme menyoroti pentingnya menjaga kritisisme terhadap keyakinan kita sendiri, sehingga memungkinkan pertumbuhan spiritual yang lebih dalam.