Jakarta – Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin, menyoroti peran Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan soal Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal. Ia menilai MK kini mulai bertransformasi menjadi lembaga pembentuk UU ketiga setelah Presiden dan DPR.
Khozin mengingatkan bahwa MK seharusnya hanya bertindak sebagai negative legislator, bukan positive legislator. Ia mempertanyakan apakah MK kini dapat dianggap sebagai perumus undang-undang dengan dalih menjalankan prinsip living constitution.
Pernyataan itu disampaikan Khozin dalam Diskusi Publik bersama Ketua KPU Mochammad Afifuddin, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja, Peneliti Utama BRIN Siti Zuhro, dan Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini. Acara tersebut dibuka oleh Ketua Fraksi PKB DPR RI, Jazilul Fawaid.
Khozin menilai perlu ada penegasan bersama mengenai peran dan fungsi MK. Ia khawatir MK dijadikan jalan pintas oleh pihak-pihak tertentu untuk menolak produk perundang-undangan.
“Pembentukan produk perundangan ini kan high cost secara biaya, high cost secara tenaga, high cost secara waktu dan sebagainya. Nah jangan sampai hal ini tidak ada kepastian hukum. Kalau memang MK bertransformasi menjadi lembaga ketiga perumus UU ya sudah kita lakukan constitusional enginering terkait tugas pokok dan tusi dari MK,” ujarnya.
Khozin menyinggung putusan MK nomor 135/2025 yang menurutnya kontradiktif dengan putusan sebelumnya, yaitu nomor 55/2019. Ia menilai MK bersikap paradoks dalam menentukan model keserentakan Pemilu.
“Selain itu dalam keputusan 55/2019 MK dengan tegas menolak memberikan putusan mengenai model keserentakan karena menjadi tugas dari pembuat UU tapi di keputusan 135/2025 malah memerintahkan adanya Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal,” ujar politisi Fraksi PKB ini.
Ia juga mengingatkan bahwa pemerintah tidak bisa langsung melaksanakan putusan MK tentang pemisahan Pemilu nasional dan daerah. Menurutnya, hal itu berpotensi menabrak norma konstitusi yang telah diatur dengan jelas.
“Secara implementasi, putusan ini tidak secara otomatis bisa dilaksanakan dalam hal ini oleh pemerintah karena berimplikasi terhadap beberapa norma. Terutama yang sering kita pahami di dalam Pasal 22E ayat 1 maupun ayat 2 dan Pasal 18 ayat 3, dan itu sudah jelas di sana tertulis bahwa pelaksanaan pemilu itu dilaksanakan 5 tahun sekali,” ujar Khozin.
Ia menutup pernyataannya dengan mengingatkan agar MK tidak membuat putusan yang justru menimbulkan ketidakpastian hukum. “Terus kita mau tafsiri seperti apa lagi? Kalau ini kemudian dilaksanakan, jangan sampai kemudian perintah konstitusional dilaksanakan dengan cara menabrak konstitusi. Ini kan enggak akan berujung nanti. Tidak ada ruang kepastian hukum di sini,” pungkasnya.