Jakarta – Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengusulkan perubahan dalam sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dalam pidatonya pada acara puncak HUT ke-60 Partai Golongan Karya (Golkar) di Sentul, Kamis, 12 Desember 2024, ia mengusulkan agar kepala daerah tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, melainkan oleh legislatif. Alasan utamanya adalah efisiensi dan penghematan anggaran. Pilkada serentak pada 2024, menurutnya, telah menghabiskan biaya besar hingga Rp37 triliun.
Wacana tersebut menuai berbagai tanggapan di masyarakat. Ada yang mendukung demi efisiensi, namun ada pula yang menilai hal itu dapat mengurangi partisipasi rakyat dalam demokrasi. Untuk memahami konteksnya, mari melihat perjalanan model Pilkada dari era Pemerintah Kolonial Belanda hingga era Reformasi.
Pada masa kolonial Belanda, dalam VT akun TikTok Mohammad Fauzi pemerhati demokrasi dari Lembaga studi Perubahan dan Demokrasi (LsPD) memaparkan, Pilkada tidak melibatkan rakyat. Pemerintah Kolonial Belanda menunjuk langsung kepala daerah untuk memimpin wilayah administratif kabupaten dan kecamatan. Untuk tingkat provinsi, jabatan kepala daerah diisi oleh pejabat dari kalangan Pemerintah Kolonial Belanda sendiri. Sistem ini sepenuhnya sentralistik dan tidak memberikan ruang partisipasi bagi penduduk lokal.
Pilkada di Indonesia, Fauzi memaparkan dalam VT di akun TikToknya, telah mengalami berbagai perubahan sejak era Orde Lama hingga era Reformasi. Perubahan ini mencerminkan perkembangan sistem politik dan demokrasi di Indonesia.