Jadi, secara etimologi (asal-usul kata, red.) Partai Cokelat atau Parcok menurut Yudik, dapat diartikan sebagai perkumpulan politik dengan ideologi warna merah ke-hitam-hitaman.
Namun, ketika kita telusuri konteks kemunculannya istilah tersebut, menurut Pakar Linguistik lulusan UNS (Universitas Sebelas Maret) ini, Partai Cokelat secara terminologi (istilah teknis, red.) mengarah pada institusi kepolisian, yang dilibatkan oleh elit penguasa dalam Pilkada Serentak tahun 2024.
Istilah (konsep, red.) politik ini digunakan oleh Hasto Kristiyanto untuk menggambarkan atau menjelaskan perilaku politik elit politik tertentu yang (berupaya) menggerakkan institusi kepolisian (Partai Cokelat, red.) dalam Pilkada Serentak tahun 2024.
Tujuan praktek politik tersebut, tentu adalah untuk memenangkan paslon yang didukung elit politik tersebut dalam Pilkada Serentak tahun 2024. Elit tersebut, menurut Hasto Kristiyanto adalah mantan elit berkuasa di Indonesia, yakni Jokowi mantan Presiden RI.
Praktek politik tak demokratis ini dilakukan Jokowi (Joko Widodo, red.), menurutnya, untuk membangun “kerajaan (dinasti, red.) politik” dengan menempatkan orang-orang terdekatnya di posisi strategis Pilkada Serentak tahun 2024.