Gus dalam pesantren, paling tidak, memiliki tiga peran penting. Ketiga peran ini adalah: (1) sebagai pewaris kepemimpinan, (2) sebagai penghubung tradisi dan modernitas, dan (3) sebagai tokoh publik.
Sebagai pewaris kepemimpinan, dalam tradisi pesantren, Gus sering dipersiapkan untuk menjadi penerus kepemimpinan setelah kiai. Pendidikan seorang Gus biasanya berlangsung intensif, baik secara formal di pesantren maupun melalui pendidikan tambahan di luar negeri. Seorang Gus sering diarahkan untuk menguasai ilmu agama secara mendalam, sehingga mampu melanjutkan tugas kiai dalam membimbing santri dan masyarakat.
Persiapan ini sering mencakup pembelajaran nilai-nilai luhur pesantren, seperti kesederhanaan, kebijaksanaan, dan keberanian mengambil keputusan. Gus juga kerap dilibatkan dalam berbagai aktivitas pesantren, mulai dari kegiatan administrasi hingga pengajaran santri, sebagai bentuk pelatihan kepemimpinan.
Di era modern, pesantren menghadapi tantangan besar, termasuk kebutuhan untuk beradaptasi dengan teknologi dan perubahan sosial. Gus memiliki peran strategis sebagai jembatan antara tradisi dan modernitas. Banyak Gus yang mengintegrasikan pendekatan tradisional pesantren dengan wawasan modern, seperti memanfaatkan media sosial untuk berdakwah atau memperkenalkan kurikulum baru yang relevan dengan kebutuhan zaman.
Beberapa Gus juga terlibat dalam kegiatan ekonomi berbasis pesantren, seperti pendirian koperasi, usaha kecil, dan program pemberdayaan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa Gus tidak hanya bertugas menjaga tradisi, tetapi juga berkontribusi pada pengembangan pesantren secara holistik.