Budaya  

Sejarah Kabupaten Pamekasan: Dari Kerajaan Pamelingan ke Kabupaten Modern

Peta Kota Pamekasan (1883)
Peta Kota Pamekasan (1883) (Sumber Foto: Univ. Leiden, via Pemkab Pamekasan).

Pada tahun 1624, Pangeran Ronggo Sukowati gugur dalam perang melawan invasi Sultan Agung dari Mataram. Setelah kemenangan Mataram, wilayah ini disatukan dengan Jamburingin dan Lambang Lor, sementara Keraton Mandhilaras dan Maseghit Ratoh dihancurkan dan digantikan dengan bangunan bergaya Mataram.

Pada tahun 1671, Pamekasan menjadi pusat pemberontakan Pangeran Trunojoyo terhadap Mataram. Namun, pemberontakan ini berakhir pada 1679 setelah Mataram meminta bantuan VOC (Belanda). Akibatnya, mulai tahun 1705, VOC menguasai Pamekasan, dan pada 1743, pusat pemerintahan dipindahkan ke Bugih, lokasi Pendopo Kabupaten Pamekasan saat ini.

 

Kolonialisme Belanda dan Dampaknya

Selama masa kolonial, Belanda menerapkan sistem tanam paksa dengan menanam tebu, yang kemudian digantikan oleh tembakau pada 1861 akibat kekeringan. Pamekasan juga menjadi sentra produksi garam, yang dikontrol dan dimonopoli oleh Belanda.

Untuk mendukung perdagangan garam, jalur kereta api Pamekasan-Kalianget dibangun antara 1898-1901, namun akhirnya ditutup pada 1987. Selain itu, pada masa pergerakan nasional, Mohammad Tabrani, tokoh asal Pamekasan, mengusulkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dalam Kongres Pemuda I.

 

Pendudukan Jepang dan Perlawanan Rakyat

Pada masa pendudukan Jepang, rakyat Pamekasan mengalami penderitaan akibat kebijakan romusha, namun Jepang juga melatih pemuda Madura dalam Pembela Tanah Air (PETA). Setelah proklamasi kemerdekaan, Pamekasan menjadi pusat perlawanan terhadap Belanda, termasuk dalam Pertempuran di depan Masjid Jamik pada 16 Agustus 1947.

Eksplorasi konten lain dari Madurapers

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca