Pada tahun 1671, Pamekasan menjadi pusat pemberontakan Pangeran Trunojoyo terhadap Mataram. Namun, pemberontakan ini berakhir pada 1679 setelah Mataram meminta bantuan VOC (Belanda). Akibatnya, mulai tahun 1705, VOC menguasai Pamekasan, dan pada 1743, pusat pemerintahan dipindahkan ke Bugih, lokasi Pendopo Kabupaten Pamekasan saat ini.
Kolonialisme Belanda dan Dampaknya
Selama masa kolonial, Belanda menerapkan sistem tanam paksa dengan menanam tebu, yang kemudian digantikan oleh tembakau pada 1861 akibat kekeringan. Pamekasan juga menjadi sentra produksi garam, yang dikontrol dan dimonopoli oleh Belanda.
Untuk mendukung perdagangan garam, jalur kereta api Pamekasan-Kalianget dibangun antara 1898-1901, namun akhirnya ditutup pada 1987. Selain itu, pada masa pergerakan nasional, Mohammad Tabrani, tokoh asal Pamekasan, mengusulkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dalam Kongres Pemuda I.
Pendudukan Jepang dan Perlawanan Rakyat
Pada masa pendudukan Jepang, rakyat Pamekasan mengalami penderitaan akibat kebijakan romusha, namun Jepang juga melatih pemuda Madura dalam Pembela Tanah Air (PETA). Setelah proklamasi kemerdekaan, Pamekasan menjadi pusat perlawanan terhadap Belanda, termasuk dalam Pertempuran di depan Masjid Jamik pada 16 Agustus 1947.
Sebagai simbol perjuangan rakyat, Monumen Arek Lancor didirikan pada 1985. Pada 1948, Belanda mendirikan Negara Madura dengan ibu kota di Pamekasan, tetapi negara ini dibubarkan pada Maret 1950 setelah Madura kembali bergabung dengan Republik Indonesia.
Pamekasan dalam Indonesia Modern
Setelah menjadi bagian dari Provinsi Jawa Timur berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950, Pamekasan berkembang pesat di bidang infrastruktur dan pendidikan, salah satunya berkat peran Residen Madura terakhir, R. Soenarto Hadiwidjojo.