Lawan kata “pintar” ini adalah kata “bodoh”. Kata “bodoh” ini dalam KBBI adalah: (1) tidak lekas mengerti; tidak mudah tahu atau tidak dapat (mengerjakan dan sebagainya), (2) tidak memiliki pengetahuan (pendidikan, pengalaman), dan (3) terserah (kepadamu).
Jadi, orang pintar dalam KBBI, tutur Wahyudi, adalah orang yang pandai, cakap, cerdik, banyak akal, dan mahir melakukan atau mengerjakan sesuatu. Tentu, apabila dikaitkan dengan pendidikan formal “kepintarannya” sesuai dengan jurusannya yang ditempuh dalam pendidikan formalnya.
Orang pintar ini dalam filsafat ilmu, kata Wahyudi, berarti pintar dalam sisi ontologi (bidang tertentu yang dikaji/dipelajari), epistemogi (asal, sifat, karakter, dan jenis pengetahuan yang diperoleh dari penelitian), dan aksiologi (kajian tentang nilai dan kegunaan).
Apabila ada orang berpendidikan tinggi yang tidak pintar dalam aksiologi, ini yang dikatakan oleh A. Gramsci sebagai intelektual tradisional. Intelektual tradisional kerjanya hanya melegitimasi, memanipulasi, dan mengarahkan kesadaran masyarakat untuk kepentingan kelompok politik tertentu.
Berbeda dengan intelektual jenis tersebut, intelektual organik dengan kesadaran dan pengetahuannya mengambil sikap membela kebenaran di masyarakat, yang tentu saja bisa berbeda dengan agenda kepentingan kelompok politik tertentu. Itu dilakukan oleh intelektual jenis ini semata-mata karena melaksanakan ilmu pengetahuannya (aksiologi).
Dengan demikian, apabila ada orang lulusan sarjana, magister, doktor yang hanya bisa bicara saja tapi tidak bisa kerja, minimal sesuai dengan keilmuannya, kata Wahyudi, itu namanya “bukan orang pintar”. Bahkan, orang tersebut bisa dikatakan “orang khianat (tidak setia)” dengan ilmu pengetahuannya. Dalam istilah A. Gramsci disebut “intelektual tradisional”, yang mau bekerja karena ada pesanan/perintah kepentingan kelompok politik tertentu, tentu dengan imbalan.