Dalam Regeling Reglemen 1584 menetapkan/mengatur bahwa dalam tata pemerintahan kolonial Belanda terdapat wilayah perkotaan dimana otonomi desa tidak dapat diberlakukan. Pengecualian ini didasarkan pada pembentukan wilayah perkotaan yang memiliki penduduk ras kulit putih/Eropa. Wilayah ini pasca kemerdekaan Indonesia oleh rezim pemerintah disebut dengan kelurahan. Jadi, secara historis kelurahan sudah terbentuk di era pemerintahan kolonial Belanda tahun 1584.
Kelurahan menurut regulasi rezim Orde Baru dan reformasi adalah bagian wilayah administrasi kecamatan sebagai perangkat kecamatan. Kepala kelurahan disebut dengan lurah yang diangkat dari kalangan PNS oleh kepala daerah. Jadi, dengan ketentuan tersebut, penyelenggaraan pemerintah kelurahan berdasarkan pada azaz dekonsentrasi, bukan desentralisasi.
Dalam konteks demokrasi prosedural/subtansial, dipertahankannya eksistensi pemerintah kelurahan tentu pelembagaan otonomi/demokrasi daerah menjadi terkendala. Fenomena ini menjadi paradoks demokrasi di tingkat lokal perkotaan. Paradoksnya yang paling krusial: (1) kelurahan ditetapkan sebagai bagian wilayah administrasi kecamatan, yang tentu saja intervensi kebijakan oleh birokrasi kecamatan dan kabupaten/kota dibenarkan regulasi, dan (2) lurah sebagai kepala kelurahan tidak dipilih oleh masyarakat tetapi diangkat dari PNS oleh kepala daerah.
Berdasarkan fenomena tersebut dapat ditafsirkan bahwa penghapusan desa perdikan bukan semata-mata karena transformasi demokrasi pemerintahan desa, tetapi lebih pada pembentukan desa yang seragam dan tidak diskriminatif.
Keseragamannya terletak pada satu jenis/macam desa yang memiliki persamaan hak dan kewajiban dalam penguasaan lahan dan pajak/retribusi. Untuk merealisasikan hal tersebut kebijakan penghapusan hak-hak istimewa desa perdikan sebagai representasi struktur feodal pemerintahan desa menjadi determinan.
Kebijakan ini menjadi semakin kuat sejak diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang mana pertimbangan diberlakukan regulasi ini adalah keadilan, kemakmuran, reformasi agraria, dan kepastian hukum. Namun demikian, regulasi ini—termasuk regulasi terkait di era Orde Baru dan reformasi—menyisakan sejumlah masalah. Salah satu masalahnya yang krusial adalah marjinalisasi hak masyarakat hukum adat (MHA) dalam konstitusi dengan dalih kepentingan negara. Sinergis dengan fakta tersebut, rekognisi MHA dalam konstitusi harus dilaksanakan secara efektif oleh pemerintah agar keadilan dan kemakmuran terejawantah dan terdistribusi secara nyata pada semua lapisan masyarakat.