Jakarta – Peraturan DPR tentang Tata Tertib (Tatib) DPR Nomor 1 Tahun 2025 viral di media sosial. Penyebabnya, aturan tersebut memberi kewenangan kepada DPR untuk memberhentikan pimpinan KPK, Kapolri, Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Kantor Hukum Dignity, dipimpin oleh Abdul Hakim S.H., M.H., langsung merespons aturan kontroversial ini. Bersama Setya Indra Arifin, dosen hukum dari Universitas Nahdatul Ulama Jakarta (Unusia), dan A. Fahrur Rozi, mahasiswa hukum dari Universitas Syarif Hidayatullah, mereka mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung.
Pengujian materi dilakukan terhadap Pasal 228A ayat (1) dan (2) Peraturan DPR tersebut. Pasal ini mengatur bahwa DPR dapat melakukan evaluasi berkala terhadap calon yang ditetapkan dalam rapat paripurna, dengan hasil evaluasi bersifat mengikat.
Abdul Hakim menilai ketentuan dalam Pasal 228A ayat (1) dan (2) bertentangan dengan UU MD3 Nomor 17 Tahun 2014. Ia menyebut pasal tersebut melanggar Pasal 70 ayat (3), Pasal 185 ayat (1 dan 2), serta Pasal 234 ayat (2) dalam undang-undang tersebut.
“Pengujian ke Mahkamah Agung pengujian legalitas, bukan norma, artinya apakah objek yang diujikan itu bertentangan dengan Undang-Undang yang di atasnya atau tidak,” ujar Abdul Hakim, yang akrab disapa Alan Akim.
Akim menjelaskan bahwa dalam teori hirarki hukum, tata tertib DPR hanya mengikat secara internal. Menurutnya, aturan yang bisa menjangkau keluar dari lingkup internal DPR jelas melanggar prinsip dasar hukum.
“DPR kalau ngebet ingin punya kewenangan evaluasi tersebut harus diatur dalam undang-undang, bukan dalam Tatib. Kalau pengen ya, bukan berarti boleh,” tambah Alan Akim.