“Kalau terpilih (sebagai presiden dan wakil presiden) harus dianggarkan lebih banyak dari APBN kita dan jangan tergantung dari donor luar negeri. Kita harus on the track jalur yang benar dalam eliminasi TBC 2030,” ujar Erlina Burhan.
Sementara, Khairul Anas perwakilan dari Perhimpunan Organisasi Pasien TBC (POP TB) Indonesia mengangkat isu stigma dan diskriminasi serta peran komunitas terdampak dalam upaya penanggulangan TBC.
“Kolaborasi yang baik antara pemerintah dan komunitas sangat penting dalam upaya eliminasi TBC 2030. Mandat Perpres No. 67 Tahun 2021 terkait Penanggulangan TBC bahwa harus dibentuk satgas untuk menangani stigma dan diskriminasi yang bisa berkolaborasi dengan K/L terkait sehingga pasien TBC bisa menerima haknya kembali. Semoga yang sudah berjalan bisa dilanjutkan dan diperbaiki dengan inovasi-inovasi unggulan,” ungkapnya.
Kemudian, peneliti dr. Ahmad Fuady, M.Sc., Ph.D., membahas dampak ekonomi dan perlindungan sosial bagi orang terdampak TBC, Beliau berharap,“TBC bukan sekedar masalah bagaimana treatmentnya tapi bagaimana berimplikasi terhadap sosial dan kehilangan pekerjaan. Di penelitian sebelumnya, saya menemukan sepertiga pasien TBC kehilangan pekerjaan, dan mengalami biaya katastropik. Hal ini berdampak pada kepatuhan berobat yang harus mereka jalani. Oleh karena itu, beyond health sector harus dipikirkan terkait protection, nutrition, psychologist dan tempat tinggal yang layak huni,” tambahnya.
Sesi ini ditutup oleh dr. Nurul Nadia H.W Luntungan, M.PH., selaku Ketua Pengurus Yayasan STPI yang menyampaikan bahwa pentingnya kolaborasi multi stakeholder dalam upaya penanggulangan TBC di Indonesia.