Ia juga menjelaskan bahwa visa tidak menjamin hak masuk sepenuhnya. “Visa adalah bentuk rekomendasi, bukan izin mutlak. Negara tetap berhak menolak,” jelasnya.
Anggiat mengungkapkan bahwa dari ribuan TKA asal Tiongkok yang bekerja di proyek strategis nasional, hanya sekitar 5.000 yang memiliki izin tinggal resmi. Sisanya diduga ilegal karena keterbatasan pengawasan.
Ia juga menyebut bahwa investasi Tiongkok kini lebih strategis dan berbasis kualitas, bukan hanya 3M (Money, Manpower, Material). Menurutnya, sikap sosial masyarakat Indonesia juga turut memengaruhi kelancaran investasi tersebut
Ali Chaidar Zamani dari Kementerian Ketenagakerjaan menyatakan bahwa penyederhanaan izin TKA dilakukan dengan prinsip selektif. “Alasan utama penggunaan TKA adalah asas resiprositas, transfer teknologi dan pengetahuan, serta untuk menunjang pertumbuhan ekonomi nasional,” jelasnya.
Ali menambahkan bahwa kehadiran TKA Tiongkok biasanya karena alasan teknis dan strategis. Ia menyebut penguasaan mesin, kepemimpinan proyek, dan kebutuhan tenaga ahli sebagai faktor utama.
Johanes Herlijanto dari Universitas Pelita Harapan membahas aspek sosial dari keberadaan TKA asal Tiongkok. Ia membedakan antara migran lama dan baru yang memiliki dinamika sosial berbeda.
“Migran baru muncul sejak tahun 1980-an dan cenderung belum menyatu dengan masyarakat lokal. Sebagian diantaranya menghadapi isu legalitas dan sosial yang kompleks,” katanya.
Johanes menambahkan bahwa sebagian besar TKA tersebut menjalankan praktik easy come-easy go. “Ada kekhawatiran, tetapi juga apresiasi terhadap etos kerja TKA. Namun sejak 2015, kritik dan keprihatinan mulai muncul seiring meningkatnya jumlah TKA yang masuk, sebagian tanpa izin tinggal yang sah,” tegasnya.