‘’Dari sisi manajemen, kas tentu menjadi masalah ketika penyediaan dana untuk membiayai transfer ke daerah dibiayai dari penerbitan utang dengan biaya mahal, sementara pemerintah daerah hanya mengendap di perbankan dengan mengharapkan bunga yang lebih rendah,’’ paparnya.
Dalam postur APBN, alokasi dana transfer ke daerah telah mencapai sepertiga dari total belanja pemerintah.
Karena itu belanja pemda merupakan pemicu pertumbuhan ekonomi serta daya saing daerah.
‘’Lah, kalau diendapkan, bagaimana manfaat ekonomi akan dirasakan masyarakat? “dia menanyakan.
“Dalam situasi sulit karena pandemi seperti ini, harusnya masalah tersebut menjadi perhatian sangat serius, “kata Marwan lagi.
Ditambahkan, pemerintah harus menempuh berbagai untuk mengatasi peningkatan dana yang mengendap di perbankan.
Misalnya, membuat aturan pembatasan atau jumlah maksimal dana pemerintah daerah yang dapat ditempatkan dalam deposito, sebagaimana pernah direncanakan pada tahun 2014 lalu.
‘’Harus juga tegas, tegakkan aturan dan sanksi kepada pemda yang mengendapkan dana transfer dari pusat dengan mengurangi penyaluran atau jika perlu, penghentian transfer tahun berikutnya, “tegasnya.
“Itu juga yang harus dilakukan jika daerah tidak menyerap anggaran dengan baik. Berikan penghargaan pada daerah yang patuh dan tepat waktu dalam merealisasikan dana transfer tersebut,’’ tegasnya lagi.
Marwan juga mengingatkan perihal kapasitas birokrasi dan prosedur yang masih tergolong panjang di daerah dalam pengelolaan dan penggunaan uang ini.
Dalam hal ini, Kemenkeu bersama Kemendagri harus dapat membantu pemda untuk meningkatkan kapasitas dan pendampingan birokrasi daerah.