“Kan jadinya justru ironi, Indonesia jualan hilirisasi di forum-forum internasional, tapi di lapangan, kita justru menambang di tempat yang mestinya kita jaga mati-matian. Ini bukan cuma kelalaian, tapi menjadi langkah yang tidak tepat,” ucapnya.
Greenpeace mencatat eksploitasi tambang di tiga pulau Raja Ampat telah menghancurkan lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi khas. Evita menyebut kerusakan ini merusak potensi pariwisata dunia yang sudah terbukti menghidupi masyarakat.
“Raja Ampat itu bukan cuma kebanggaan Papua, tapi brand internasional yang jauh lebih bernilai dari sekadar ekspor feronikel. Bukan soal sentimental, ini soal nilai ekonomi jangka panjang,” tandasnya.
Evita mengkritik pendekatan industrialisasi tambang yang mengabaikan ekosistem lokal dan pariwisata berkelanjutan. Ia mencontohkan kontribusi wisata yang mencapai Rp7 miliar pada 2020, bahkan saat pandemi melanda.
“Kalau kita ukur jujur, berapa banyak devisa yang masuk dari retribusi wisata, homestay lokal, dan kunjungan turis asing? Bahkan di tengah pandemi sekalipun, sektor ini masih menyumbang Rp7 miliar lebih ke PAD,” ungkap Evita.
“Jangan dipertaruhkan demi proyek tambang yang bisa jadi hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu,” tegas Evita. Ia meminta Pemerintah menjadikan pelestarian sebagai prioritas utama dalam kebijakan pembangunan.