Tentunya penjualan produk tersebut, bukan ditujukan untuk umat Islam melainkan untuk masyarakat lain yang mengonsumsinya karena negara Indonesia adalah negara multikultural, multietnis, dan multiagama yang dipersatukan oleh Pancasila.
Pada 2021 lalu ada sebuah insiden kematian seekor anjing di Aceh yang diberi nama Canon. Anjing itu diusir paksa oleh petugas Satpol-PP karena pada kawasan yang ditempati oleh anjing tersebut akan dijadikan wisata halal.
Sontak kejadian ini menjadi viral di media sosial seperti Twitter dan menjadi trending. Sehingga melalui kejadian ini seharusnya masyarakat lebih berhati-hati dalam memaknai konsep wisata halal, bukan malah mengorbankan sesuatu yang di luar konteks halal dalam perspesktif Islam.
Menurut Fatwa MUI Nomor 108/DSN-MUI/X/2016 ayat ke-2 (dua) wisata halal adalah wisata yang sesuai dengan prinsip Syariah (Syariat Islam). Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa wisata halal bukan harus meniadakan seluruh hal-hal yang non halal, melainkan harus disesuaikan dengan prinsip Syariat Islam.
Artinya, semua sarana dan prasananya sesuai dengan prinsip Islam, seperti fasilitas kamar hotel yang hanya boleh untuk pasangan sah suami-istri, makanan dan minuman yang terjamin kehalalannya, tempat spot foto yang hanya diperbolehkan bagi keluarga atau muhrim pengunjung, bukan malah menghabiskan semua yang non halal.
Dalam Islam ada sebuah misi agung yang berbunyi “rahmatan lil alamiin”, rahmat atau kasih sayang bagi seluruh alam. Dalam konteks ini jika disandingkan dengan kejadian kematian anjing di Aceh pada 2021 lalu, sangat disayangkan dengan dalil untuk membangun wisata halal. Hal ini karena Islam merupakan agama cinta damai dan kasih sayang, bukan kekerasan.