Bangkalan – Cinta, dalam perspektif nihilisme, selalu menjadi medan tarik-menarik antara pengorbanan dan dominasi. Perempuan memandang cinta sebagai bentuk kesetiaan dan pengabdian. Laki-laki menjadikan cinta sebagai alat untuk memuaskan egoisme dan keserakahan.
Perempuan yang mencintai dengan tulus menyerahkan dirinya secara total. Kesetiaannya menjadi simbol keberadaannya sebagai perempuan. Laki-laki yang mencintai tanpa batas justru kehilangan dirinya sebagai laki-laki.
Maskulinitas menuntut jarak dan dominasi dalam cinta. Ketika laki-laki larut dalam kesetiaan tanpa ego, ia kehilangan sifat dasarnya. Sebaliknya, jika ia mencintai dengan egoisme, ia jatuh dalam penindasan.
Penindasan dalam cinta bukan sekadar tindakan fisik. Egoisme laki-laki menjadikan cinta sebagai perpanjangan kekuasaannya. Perempuan yang pasrah dalam cinta menerima eksploitasi sebagai bagian dari kodratnya.
Eksploitasi dalam cinta bukanlah kebetulan. Cinta bagi perempuan terikat pada struktur pengorbanan yang melekat dalam esensi kewanitaannya. Ketika perempuan mencintai tanpa kepasrahan, ia merusak esensi dirinya.
Kapasitas perempuan untuk berkorban tidak lahir dari ketidakberdayaan. Pengorbanan adalah bagian dari makna eksistensialnya. Jika ia mengingkari kepasrahan, ia melawan kodratnya sendiri.
Laki-laki mencintai dengan ketakutan akan kehilangan diri. Ia menolak menyerahkan dirinya kepada cinta. Jika ia tunduk, ia menjadi lemah; jika ia mendominasi, ia menjadi tiran.
Perempuan mencintai dengan ketakutan akan kehilangan makna. Ia menolak cinta yang tidak mengharuskannya untuk setia. Jika ia berkhianat, ia kehilangan identitasnya; jika ia pasrah, ia menyerahkan dirinya kepada nasib.