Haji bukan sekadar ibadah, tapi petualangan spiritual yang penuh kejutan dan ujian level puncak. Di Hotel “Hibbah Hijrah”, para jemaah KBIH sudah digembleng seperti atlet menjelang olimpiade iman. Bukan melawan lawan, tapi melawan ego, ekspektasi, dan kasur empuk yang tak ikut dalam koper.
Suasana spiritual dimulai sejak matahari tenggelam. Maghrib berjamaah, lalu Ratib al-Hadad menggema—dipimpin langsung oleh K.H. Lutfi Zawawi, sosok karismatik yang tak cuma pandai ceramah tapi juga lihai menguatkan mental. Kami merasa seperti pasukan spiritual yang siap turun gelanggang Armuzna.
Tapi satu hal tak pernah diajarkan di buku manasik: menghadapi jemputan bus yang level misterinya setara film thriller. Jam tiga dini hari, jemaah sudah standby di lobi hotel. Tapi bus? Datangnya bisa saat azan ashar.
Waktu seakan membeku di lantai lobi. Orang duduk, berdiri, selonjor, ganti posisi seperti strategi sepak bola bertahan. Pola ubin dan warna karpet pun jadi hafalan tak resmi semua jemaah.
Begitu sampai Arafah, kami kira derita selesai. Ternyata baru pemanasan. Tenda terlalu sempit, terlalu panas, dan terlalu banyak orang—tapi terlalu sedikit ruang buat rebahan.
Sebagian tidur di luar tenda, beralaskan terpal dan berselimut tekad. Kami mulai sadar, rumah terbaik bukan yang beratap, tapi yang bikin hati tenang. Malam itu, dzikir dan sandal jepit jadi sumber kedamaian.
Di tengah kelelahan, seorang bapak nyeletuk, “Untung ini Tanah Haram. Coba kalau di Jakarta, pasti sudah ribut.” Kami tertawa bukan karena lucu, tapi karena kalimat itu jujur dan pas menampar kenyataan.
Arafah mengajarkan satu hal: lapar dan sabar harus bisa hidup berdampingan. Ketika makanan datang saat tubuh hampir pingsan, kami tak tahu apakah itu sarapan, makan malam, atau uji ketahanan. Tapi kami belajar, sabar saat lapar itu biasa—sabar saat lapar dan disuruh sabar, itu luar biasa.
Tenda Arafah seperti posko bencana spiritual. Mi instan diseduh sambil tertawa getir. Suara adzan, desahan lelah, dan gumaman doa saling bersahutan dari tenda ke tenda.
Muzdalifah datang dengan kejutannya sendiri. Bus datang sesuka hati, kadang tak datang sama sekali. Akhirnya kami jalan kaki ke Mina, membawa kaki bengkak dan kepala yang penuh istighfar.