Di antara gemerlap kehidupan istana Abbasiyah yang kaya akan intrik dan kebijaksanaan, ada satu nama yang meriah menghiasi sejarah kebanggaannya: yakni, Abu Yusuf. Nama lengkap dia adalah Yaqub ibn Ibrahim al-Ansari.
Seorang profesional ulung dalam pemerintahan, namun tak terbatas pada itu saja, dia menonjol dengan kepandaiannya dalam bidang fikih, yang membawa namanya melayang tinggi di langit-langit kesusastraan intelektual.
Namun, apa yang membuat dia begitu istimewa? Apa yang mengukir namanya dalam buku sejarah dengan tinta emas yang tak akan pernah pudar? Jawabannya terletak pada karya monumentalnya, sebuah mahakarnya yang tak tertandingi: “Al-Kharāj”.
Dalam Al-Kharāj, dia tak hanya menyajikan kajian yang luas tentang sumber pendapatan negara seperti kharāj, jizyah, dan zakat, sesuai dengan kebutuhan pengelolaan baitul mâl pada masa itu, tetapi juga mengangkat isu-isu yang kompleks seperti regulasi perang, perlakuan terhadap orang murtad, bahkan hingga hal-hal kecil seperti pengaturan air dan rumput. Sungguh, kecakapan dan ketelitiannya dalam merangkai segala aspek kehidupan publik tak terbantahkan.
Tak cukup dengan itu, yang menjadikan Al-Kharāj begitu berharga adalah metode penyusunannya yang mengandalkan landasan kuat dari Al-Qur’an dan Hadist, serta pemikiran rasional yang mendalam. Abu Yusuf juga memberikan masukan tentang pengelolaan dan pembelanjaan publik, menciptakan sistem keuangan yang tidak hanya Islami namun juga realistis serta kontekstual dengan kondisi ekonomi saat itu. Dengan demikian, karyanya bukan sekadar sekumpulan hukum formal, tetapi sebuah panduan hidup yang berakar dalam kearifan lokal dan global.