Lebih lanjut Putut menyatakan bahwa problem berikutnya adalah platform, dalam konteks platform ini atensi kita adalah sebuah sumber daya yang mahal. “Dengan cara apapun supaya orang-orang engage terus menerus kepada platform itu. Platform akan mencari cara sebanyak mungkin agar dapat terus engage dengan platform mereka, saah satunya dengan cara like, share, subscribe dan comment,” ujarnya.
“Comment mana yang akan paling banyak dibagikan, comment mana yang paling banyak di like, tentu saja yang paling kontroversial. Karena apa? Karena kta merasa harus selalu connected, dan harus selalu mengetahui apa yang terjadi saat itu, kalau pro pak Anies akan search pak Anies, kalau pro pak Ganjar atau Prabowo tentu akan sebaliknya,” jelasnya.
Menurut Dosen Universitas Diponegoro, Wijayanto, Ph.D., bahwa informasi yang benar itu seperti oksigen dalam demokrasi, dikarenakan berdasarkan informasi yang benar itu maka kemudian warga negara mengambil keputusan dalam pemilu, tidak hanya dalam pemilu sebenarnya dalam juga proses proses politik yang lain.
“Kaitannya dengan tahun 2024, sebenarnya koalisi damai sebenarnya sudah menginisiasi. Pada tanggal 22 Juni kita mengundang pemerintah dan juga platform untuk membicarakan apa yang dapat kita lakukan sehingga pemilu tahun 2024 dapat terbebas dari polusi digital, meskipun hal tersebut akan sangat berat dilakukan,” bebernya.
Peneliti PPPI, Septa Dinata, M.Si., memaparkan bahwa polarisasi ini sangat dimungkinkan dengan cara kerja media digital itu sendiri, dalam politik ini sangat berbahaya karena mereka akan dihinggapi dan diasupi oleh informasi yang homogony, hanya oleh informasi yang mereka suka.