Mereka menyuarakan kekecewaan terhadap penurunan standar hidup dan menanggapi kebijakan reformasi Presiden Prancis Emmanuel Macron yang dianggap mendukung golongan kaya.
Pada awalnya, tuntutan para pengunjuk rasa difokuskan pada pencabutan pajak hijau pada solar, namun seiring berjalannya waktu, tuntutan tersebut berkembang menjadi seruan untuk kenaikan upah minimum dan bahkan pembubaran parlemen nasional untuk mengadakan pemilihan baru. Beberapa bahkan menyerukan pengunduran diri Presiden Macron.
Protes ini, meskipun sebagian besar bersifat damai, berubah menjadi kerusuhan di beberapa tempat ikonik di Paris. Kelompok anarkis “casseurs” dari sayap kiri dan kanan ultraradikal bertanggung jawab atas kekerasan ini. Kerugian total mencapai US$3,4 juta, dan 380 orang berhasil ditangkap oleh polisi Paris setelah kerusuhan.
Jajak pendapat menunjukkan bahwa 72 persen masyarakat Prancis mendukung gerakan rompi kuning, sementara 85 persen menentang kekerasan. Dalam tiga minggu protes, empat orang tewas, termasuk tiga korban kecelakaan lalu lintas akibat blokade jalan rompi kuning, dan seorang wanita berusia 80 tahun di Marseille meninggal akibat cedera saat protes.
Pemimpin politik seperti Marine Le Pen dan Jean-Luc Mélenchon, ketika peristiwa itu berlangsung, berusaha mendekati rompi kuning, namun tak berhasil. Hal ini menunjukkan kekecewaan para pengunjuk rasa terhadap figur politik yang ada.
Presiden Emmanuel Macron, yang mengutuk kekerasan dari Argentina, kembali ke Paris dan mengadakan pertemuan krisis dengan para menteri terkait.