Penangkapan salah satu personil anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ahmad Zain An-Najah mengejutkan banyak kalangan, termasuk Menkopolhukam, Mahfud MD yang merasa kaget atau mungkin juga ‘kecolongan’ karena sebagai organisasi kemasyarakatan yang banyak mendapatkan privilege dari negara telah disusupi teroris.
Namun, dia menyebutkan, reaksi masyarakat yang berlebihan memunculkan tudingan dan persepsi yang keliru terhadap peristiwa hukum. Itulah alasan tidak sepakat dibubarkan meskipun ada anggotanya yang terlibat terorisme. Selain itu, ada peraturan perundangan yang ada peran di dalamnya. Pertanyaannya, apakah yang ditangkap itu adalah satunya-satunya atau salah satunya? Sejak kapan kekuatan terorisme itu telah menyusup?
Pertanyaan itu sulit dipastikan apalagi saat ini masih dilakukan pemeriksaan intensif terhadap para tersangka yang terlibat dalam Gerakan terorisme. Namun, jauh sebelumnya, KH Mustofa Bisri atau Gus Mus (1/2017) memberikan saran pada MUI yang salah satunya agar tidak ditumpangi kelompok radikal.
Pernyataan serupa juga datang dari KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang mengkritik fatwanya yang dinilai menyesatkan, berpikiran sempit dan tak mewakili kepentingan umat Islam. Pemakaian kata ‘sesat’ yang dikeluarkan dalam fatwanya kepada aliran tertentu seharusnya tidak ditangani MUI melainkan pakem yang terdiri dari kejaksaan, polisi dan sebagainya yang akan memperkaya perspektif dalam membaca situasi dan tidak mudah mengatakan suatu aliran sesat atau tidak.