Namun begitu, ada formula yang lebih baik dalam mengungkapkan rasa syukur kepada Allah S.W.T. Ungkapan rasa syukur tersebut dengan puji-pujian: “Ya Rabb laka al-hamdu kama yambaghi lijalali Wajhika wa al-Adzimi Sultanik (Ya Allah, bagi-Mu segala puji sesuai dengan keagungan wajah-Mu dan keagungan kekuasaan-Mu)”.
Puji-pujian tersebut disebutkan dalam hadist nabi yang diriwayatkan oleh ibn Majah dan yang lainnya dari Abdullah ibn Umar.
Diriwayatkan dalam hadist nabi, para malaikat ragu dan tidak mengetahui hadiah apa yang harus dicatat untuk puji-pujian tersebut. Lalu, malaikat menghadap Allah dan bertanya, “Ya Tuhan kami, hamba-Mu telah mengucapkan pujian yang kami tidak mengetahui bagaimana mencatatnya.”
“Apa yang dikatakan hamba-Ku?, “Allah bertanya kepada Malaikat.
Mereka berkata, “Ya Tuhan, dia berkata: Ya Allah, bagi-Mu segala puji sesuai dengan keagungan wajah-Mu dan keagungan kekuasaan-Mu.”
Allah kemudian menjawab, “Catatlah sebagaimana hamba-Ku mengucapkannya, sampai dia bertemu dengan-Ku dan Aku (Allah) akan membalasnya.”
Namun, kenyataan lain yang dijelaskan oleh para ulama bahwa bagaimanapun juga kita tidak akan pernah bisa bersyukur (berterima kasih) kepada Allah, sebagaimana seharusnya bersyukur.
Hal ini karena setiap kali kita bersyukur kepada Allah, itu adalah melalui bimbingan dan nikmat-Nya. Dengan demikian, setiap pujian dan syukur menuntut kita untuk bersyukur dan memuji Allah lagi.
Demikian juga dengan pujian kedua adalah nikmat lain dari Allah yang membutuhkan ucapan syukur lagi dan seterusnya tanpa akhir.