Jakarta – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencatat jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) tahun 2024 menyentuh angka 263.503 orang. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta per 5 Februari 2025, data ini memberi cerminan menarik tentang wajah birokrasi ibu kota hari ini, Rabu (18/06/2025).
Dari total tersebut, Pegawai Negeri Sipil (PNS) mendominasi dengan jumlah 230.262 orang atau setara 87,4 persen dari total ASN. Sementara itu, Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) hanya berjumlah 33.241 orang, atau 12,6 persen saja.
Kesenjangan komposisi antara PNS dan PPPK menandai perbedaan struktur ketenagakerjaan yang masih konservatif. Padahal, skema PPPK awalnya dirancang untuk mereformasi perekrutan ASN secara lebih fleksibel dan adaptif.
Jika dirinci berdasarkan gender, total ASN DKI Jakarta terdiri dari 133.317 laki-laki dan 130.186 perempuan. Komposisi ini relatif seimbang, meskipun PPPK didominasi perempuan dengan persentase 59,3 persen dari total PPPK.
Menariknya, dalam struktur PNS, dominasi laki-laki justru terlihat lebih kuat. Tercatat sebanyak 119.779 laki-laki menjadi PNS, mengungguli jumlah PNS perempuan yang mencapai 110.483 orang.
Sorotan penting lainnya datang dari sisi tingkat pendidikannya. ASN DKI Jakarta sebagian besar berpendidikan tinggi, dengan 187.813 orang atau 71,3 persen mengantongi gelar sarjana hingga doktor. Ini menjadi cermin bahwa birokrasi kini dijalankan oleh tenaga kerja yang relatif berpendidikan tinggi.
Namun demikian, masih terdapat 26.545 ASN yang hanya lulusan SMA atau lebih rendah—dengan rincian 25.013 orang lulusan SMA, 1.141 orang lulusan SMP, dan 391 orang lulusan SD. Fenomena ini menunjukkan adanya dualisme antara tuntutan modernisasi birokrasi dan warisan struktur lama.
Sementara lulusan diploma (DI hingga DIV) berjumlah 49.145 orang, atau 18,7 persen dari total ASN. Mereka menempati posisi tengah yang strategis dalam rantai administratif pemerintahan.
Dengan lebih dari seperempat juta ASN, DKI Jakarta tidak hanya menjadi episentrum kekuasaan politik tetapi juga laboratorium birokrasi Indonesia. Data ini penting untuk membaca arah reformasi aparatur negara yang lebih inklusif dan adaptif ke depan.
Ketimpangan jumlah antara PNS dan PPPK, serta antara tingkat pendidikan tinggi dan rendah, harus menjadi perhatian serius pembuat kebijakan. Keberlanjutan birokrasi modern Jakarta sangat tergantung pada keseimbangan struktural ini.
Di tengah tantangan digitalisasi dan tuntutan pelayanan publik yang cepat, wajah ASN Jakarta perlu terus disesuaikan agar mampu melayani kota megapolitan ini secara lebih efektif dan profesional.