DPR Kritik Putusan MK Soal Pemilu: Penafsiran Konstitusi Bukan Ruang Cipta Norma Baru

Avatar
Zulfikar Arse Sadikin, Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, tegas menyampaikan sikapnya terhadap putusan Mahkamah Konstitusi soal pemisahan Pemilu 2029 dan 2031. Pernyataannya menjadi salah satu suara kritis di legislatif yang menegaskan batas konstitusional lembaga yudikatif.
Zulfikar Arse Sadikin, Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, tegas menyampaikan sikapnya terhadap putusan Mahkamah Konstitusi soal pemisahan Pemilu 2029 dan 2031. Pernyataannya menjadi salah satu suara kritis di legislatif yang menegaskan batas konstitusional lembaga yudikatif. (Sumber foto: Munchen/vel, via Parlementaria, 2025)

Jakarta — Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Zulfikar Arse Sadikin, menyampaikan respons tajam terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan Pemilu Pusat 2029 dan Pemilu Daerah 2031. Dalam pernyataan di media resmi parlemen, ia menegaskan bahwa MK telah melampaui batas wewenang konstitusionalnya.

“Persoalan pemilu itu sebenarnya merupakan wilayah open legal policy, artinya merupakan kewenangan penuh dari pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah. Jadi bukan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk membuat norma baru,” tegas Zulfikar, Senin (30/06/2025). Ia mengingatkan bahwa MK seharusnya hanya menguji norma undang-undang, bukan menciptakan norma baru.

Menurutnya, beberapa putusan MK akhir-akhir ini mengindikasikan tren penyimpangan dari tugas pokok lembaga tersebut dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Ia menganggap tafsir hukum yang dilakukan MK tak semestinya menggeser ruang legislatif yang dimiliki DPR dan pemerintah.

“Kalau MK terus-menerus menafsirkan dan membuat norma, maka bisa jadi UUD kita harus diubah untuk menampung praktik itu. Tapi faktanya, Pasal 24C UUD 1945 tidak memberikan kewenangan kepada MK untuk membentuk norma baru. MK cukup menguji apakah suatu pasal inkonstitusional atau tidak,” jelas politisi Fraksi Partai Golkar ini.

Zulfikar menyatakan bahwa lembaga legislatif memiliki pemahaman lebih baik mengenai kebutuhan publik dan dinamika politik yang berkembang. Ia menilai proses legislasi di DPR tetap menjadi mekanisme utama untuk menetapkan arah dan desain demokrasi nasional.

“Kalau semua pihak bisa menafsirkan secara sepihak, nanti bisa repot. DPR adalah pihak yang memiliki legitimasi untuk menafsirkan norma dalam konteks open legal policy. Karena itu, meski putusan MK bersifat final dan mengikat, tetap kami akan evaluasi dan selaraskan dalam pembahasan perubahan UU Pemilu ke depan,” ujarnya.

Zulfikar juga menekankan pentingnya menjaga batas-batas kewenangan antar lembaga negara sesuai dengan semangat konstitusi. Ia menilai bahwa harmonisasi antar institusi harus dibangun melalui peran yang saling melengkapi, bukan tumpang tindih.

“Putusan MK tentu akan kami akomodasi dalam pembahasan undang-undang, tapi pembuatan norma dan desain kebijakan tetap harus kembali ke ranah politik pembentuk undang-undang,” pungkasnya.