Potret keluarga mereka, khas masyarakat urban yang hidup dikota besar seperti Surabaya dengan berbagai macam himpitannya. Tinggal dikost ukuran 3×3 meter, dengan bermacam-macam perabot rumah tangga. Bercengkrama, tidur dan segala aktifitas keseharian yang jamak dilakukan oleh orang yang lain. Ya, itulah dunia mereka, dunia yang dikelilingi oleh berbagai jenis mesin, alat-alat berat dan gudang-gudang yang sering kali acuh dan berdiri dengan pongahnya.
Ibu Tuti dan keluarganya tetap bertahan walaupun dikalahkan oleh sistem yang diciptakan. Berulang kali suami ibu Tuti meluangkan waktu mengobrol bersama saya, bercerita kalau sudah selesai pekerjaannya sebagai kuli bangunanan. Dan sekarang masih menunggu kabar dari pekerjaan yang belum jelas, denguhnya. Ada tatapan putus asa ditengah semangat yang acap kali dipaksakan. Dia kembali tersenyum seperti halnya Ibu Tuti dan anak-anaknya lakukan. Mereka selalu menjalani himpitan hidup dengan tersenyum, iya mereka tersenyum. Satu keluarga!. Mengeluhpun tidak pernah saya mendengarnya. Apalagi sampai merendahkan diri mereka dengan cara meminta-minta.
Si Yusuf sudah cukup bahagia dengan sepeda BMX bututnya itu. Acapkali saya secara kebetulan melihat dia dari balik jendela menuntun sepedanya, tepat disaat dia melintas didepan pintu rumah, lalu menaikinya kembali. Sikap yang sangat langka ditengah kerasnya kehidupan kota. Dia tidak banyak bicara, sesekali menyahut saat saya mengajaknya berbicara. Iya Gus, Bukan Gus, sependek itu.
Si Tuti sering bermain dengan bonekanya yang hampir lapuk. Ada juga beberapa mainan berupa hewan-hewan yang jumlahnya tidak seberapa. Dan Si Yunus hobinya bermain diantara mesin-mesin dan alat-alat berat milik bengkel tetangga. Sesederhana itu mereka menjalani hidup, bahkan disaat mereka berkumpul bersama anak-anak yang lain. Bermodal tiga ribu rupiah untuk mereka bertiga sebagai uang sakunya, melebur tanpa beban. Tersenyum!.
Betapa indahnya, jika di suatu daerah banyak di huni para ibu” tuti… !