Ibu Tuti yang hebat itu, setiap harinya memakai pakaian sangat sederhana. Celana sebatas lutut dan kaos lengan pendek dengan warna senada. Mukena hanya dipakai ketika dia melaksanakan shalat, selebihnya tetap menggunakan pakaian itu. Ke Pasar, sekolah atau bahkan ketika akan mencari kekurangan membayar kos bulanannya. Dia mengayuh pedal sepeda berkilo meter jauhnya, dengan ciri khas, tersenyum tanpa aling-aling.
Menjelang subuh, tanggal 24 Ramadhan kemarin saya pura-pura bertanya ke Ibu Tuti, pertanyaan yang sering saya lontarkan di setiap penghujung bulan Ramadhan. “Mudik, Bu?”, “Nggak, Gus” Jawabnya. Dan lagi-lagi tersenyum sambil melipat mukena. Ini pertanyaan kelima kalinya saya utarakan dan jawabannya pun masih sama. Terasa pecah dada saya. Meletup dan menguap sampai diujung gendang telinga, lima kali lebaran keluarga mereka tidak mudik.
Saya merasa tertampar, selama ini kadang terbersit bahwa sayalah yang mengajari mereka mengaji. Kenyataannya, Ibu Tuti dan anak-anaknya yang mengajari saya mengaji. Mengaji tentang hidup dan bagaimana cara menjalaninya. Kecongkaan dan kesombongan saya menutupi secara nyata. Kuasa ekonomi adalah sumbunya. Itupun terkadang saya masih merasa kurang, hiingga beberapa pinjaman online yang sekarang menjamur itu berjejer rapi, lengkap di smartphone saya.
Ini kejadian yang sebenarnya, saya tidak mengada-ada. Kesan Ramadhan tahun ini memberikan saya pelajaran penting. Dan sengaja saya tulis agar kelak bisa dibaca oleh anak-anak kandung saya. Bahwa kebahagiaan akan muncul bersama rasa syukur kepada Sang Pencipta. Diluar sana, mungkin ada puluhan atau bahkan ratusan ibu Tuti yang mengalami hal yang sama. Tidak bisa mudik bukan karena Corona, atau bahkan larangan rezim penguasa, melainkan himpitan ekonomi penyebab utamanya.
Betapa indahnya, jika di suatu daerah banyak di huni para ibu” tuti… !