Opini  

Identitas Politik dan Politik Identitas

Syamsul Hadi, Alumni STIU Darussalam Bangkalan
Syamsul Hadi, Alumni STIU Darussalam Bangkalan (Dok. Madurapers.com)

Merujuk pada beberapa pemahaman di atas, politik identitas berakar pada stereotip yang dilekatkan dengan menggunakan perspektif primordialisme. Mengikuti konsep politik Aristoteles, primordialisme berarti ‘berperang ke luar dan konsolidasi ke dalam’.

Konflik Politik Identitas

Penggunaan cara pandang sentimen kelompok atau golongan tertentu menjadi memicu munculnya konflik yang berefek domino. Karena itu, penggunaan politik identitas senantiasa diwarnai konflik baik yang bersifat frontal maupun dialektik. Politik identitas selalu hadir dalam ketegangan antar mayoritas dan minoritas, superioritas dan inferioritas.

Kasus konflik ini sempat terjadi dibeberapa tempat; di Kalimantan Selatan 2010 pada saat Zaerullah Azzar-Aboe Bakar Al Habsyi mencalonkan diri kemudian dimunculkan sentiment kesukuan. Karena dia bukan Banua alias bukan pribumi asli Kalimantan.

Per 2017, terjadi di Jakarta pada kontestasi pemilihan Gubernur yang menimpa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dengan isu penistaan agama. Bahkan pecah pada gerakan sparatis, Gerakan 212 yang mengatasnakan diri pembela Islam.

Di Pilkada Kota Solo 2015, saat pencalonan FX Hadi Rudyatmo yang beragama Katolik dan Pilkada Kabupaten Banjarnegara 2017 dengan calon Budhi Sarwono alias Wing Chin dengan latar belakang etnis Tionghoa. Lagi-lagi dibangun sentiment dan penolakan atas dasar perbedaan identitas.

Menuju Pemilu 2024

Setiap perhelatan politik kental dengan penggunaan politik identitas sebagai salah satu cara mengais suara dan melumpuhkan lawan politik. Ini menjadi cerminan politik yang tidak higenis dan tidak sehat. Pasalnya, kita ingat 2014 dan 2018 silam, penggiringan opini dan narasi rasis dan sektoral gencar digaungkan.

Tinggalkan Balasan

error:

Eksplorasi konten lain dari Madurapers

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca