Agnes Heller mendefinsikan, politik identitas sebagai gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah perbedaan sebagai suatu klasifikasi politik yang utama.
Sedangkan, pakar politik dari Universitas Duke, Donald L Morowitz, mendefinisikan politik identitas adalah pemberian garis tegas untuk menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak dengan alasan perbedaan identitas.
Menurut Widayanti, proses pembentukan identitas ada tiga; Pertama, Primordialisme, diperoleh secara alamiah atau turun temurun; kedua, konstruktivisme, yaitu dibentuk oleh proses sosial; ketiga, instrumentalisme, yaitu dibentuk untuk kepentingan elit tertentu.
Merujuk pada beberapa pemahaman di atas, politik identitas berakar pada stereotip yang dilekatkan dengan menggunakan perspektif primordialisme. Mengikuti konsep politik Aristoteles, primordialisme berarti ‘berperang ke luar dan konsolidasi ke dalam’.
Konflik Politik Identitas
Penggunaan cara pandang sentimen kelompok atau golongan tertentu menjadi memicu munculnya konflik yang berefek domino. Karena itu, penggunaan politik identitas senantiasa diwarnai konflik baik yang bersifat frontal maupun dialektik. Politik identitas selalu hadir dalam ketegangan antar mayoritas dan minoritas, superioritas dan inferioritas.
Kasus konflik ini sempat terjadi dibeberapa tempat; di Kalimantan Selatan 2010 pada saat Zaerullah Azzar-Aboe Bakar Al Habsyi mencalonkan diri kemudian dimunculkan sentiment kesukuan. Karena dia bukan Banua alias bukan pribumi asli Kalimantan.