Per 2017, terjadi di Jakarta pada kontestasi pemilihan Gubernur yang menimpa Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) dengan isu penistaan agama. Bahkan pecah pada gerakan sparatis, Gerakan 212 yang mengatasnakan diri pembela Islam.
Di Pilkada Kota Solo 2015, saat pencalonan FX Hadi Rudyatmo yang beragama Katolik dan Pilkada Kabupaten Banjarnegara 2017 dengan calon Budhi Sarwono alias Wing Chin dengan latar belakang etnis Tionghoa. Lagi-lagi dibangun sentiment dan penolakan atas dasar perbedaan identitas.
Menuju Pemilu 2024
Setiap perhelatan politik kental dengan penggunaan politik identitas sebagai salah satu cara mengais suara dan melumpuhkan lawan politik. Ini menjadi cerminan politik yang tidak higenis dan tidak sehat. Pasalnya, kita ingat 2014 dan 2018 silam, penggiringan opini dan narasi rasis dan sektoral gencar digaungkan.
Presiden Jokowi yang pada saat itu sebagai calon diisukan keturunan Komunis yang akan mengancam kesatuan Bangsa, kemudian diisukan tidak bisa membaca al-Qur’an atau gamblangnya meragukan keislaman Jokowi.
Lagi-lagi penggiringin isu agama di Indonesia menjadi sangat sensitif. Jadi tidak salah bahwa isu agama menjadi pilihan senjata ampuh untuk menggulirkan isu yang bertujuan perpecahan politik yang tidak jarang pula berimbas pada perpecahan sosial.
Masyarakat Indoensia masih sangat rentan akan isu-isu identitas terlebih isu ras, etnis, budaya dan agama. Ini menandakan lemahnya wawasan pluralisme yang dimiliki Masyarakat Indonesia. Mereka mengakui bahwa Indonesia bergam, akan tetapi tidak dalam bentuk sikap.