Negara Indonesia yang saat ini kita ketahui dan saksikan tidak terlepas dari perjalanan panjang sejarah. Di bumi Nusantara–yang sebagian wilayahnya saat ini disebut Indonesia–dahulu kala banyak dikdaya kerajaan-kerajaan besar yang mempengaruhi dunia seperti Majapahit, Sriwijaya dan Singosari.
Konsep kerajaan memberlakukan pergantian pemimpin atau raja secara monarki, atau turun temurun. Yang mempunyai hak untuk menjadi pemimpin hanya anak atau keturunan raja.
Bagi yang melek sejarah, melihat Indonesia saat ini tidak begitu heran dan kaget akan praktek nilai-nilai kerajaan yang tetap berlangsung dan lestari termasuk diantaranya adalah budaya monarki. Sebab, warisan sejarah kita memang berbicara demikian.
Perbedaan monarki dulu dan saat ini hanya terletak pada kemasan; pada masa kerajaan dahulu, monarki diberlakukan dengan sistem otoriter-frontal sedangkan monarki saat ini lebih disuguhkan dengan nuansa demokratis.
Terbukti, bagaimana prosesi Pemilihan Umum yang menjadi tiang penyangga demokrasi dilakukan lima tahun satu kali baik di tingkat desa, daerah kabupaten, provinsi dan nasional. Di mana calon pemimpin yang akan dipilih tidak lain adalah ketentuan Partai Politik. Kita tidak dapat menutup mata bahwa keberlangsungan iklim Parpol tidak ubahnya kerajaan dimana kepemimpinan partai adalah warisan turun-tenurun.
Sebagaimana baru-baru ini kita saksikan dinamika partai politik, terutama partai PDI-P. Salah satu kader terbaik partai sempat diisukan akan nyalon Presiden yang kemudian menuai respon penolakan dari pimpinan tertinggi, Megawati Sukarno Putri. Megawati melalui partai PDI lebih cenderung ingin merekomendasikan Puan Maharani yang merupakan putrinya sendiri.