Pada tahun 2012, luas lahan pertanian (sawah produktif) Sumenep sekitar 25.185 ha. Lahan pertanian ini tersebar di 24 kecamatan dari 27 kecamatan Kabupaten Sumenep (Sumenep, 2013). Ini cukup membanggakan dan dapat diproyeksikan sebagai lumbung pangan, sehingga Sumenep dengan populasi penduduk sekitar 1 juta potensial bisa swasembada pangan atau bahkan penyuplai pangan di Madura.
Tetapi dalam perkembangannya, sebagian kalangan masyarakat tidak selalu memiliki pemahaman dan cita-cita yang sama dalam mengelola dan mempertahankan kawasan dan masa depan pangan di Sumenep. Kemungkinan keadaan ini terbentuk oleh banyak faktor, yakni mulai dari cara berfikir masing-masing generasi hingga orientasinya yang lebih didominasi oleh gaya hidup dan pragmatisme.
Berkaitan dengan kewilayahan dan ketahanan pangan tersebut, sebagian masyarakat lebih mencurigai alih fungsi lahan, meski iklim juga berperan, merubah struktur lahan produktif pertanian masyarakat. Masyarakat Sumenep patut menduga bahwa berkurangnya lahan produktif itu disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama, orientasi generasi muda yang tidak memiliki perhatian yang memadai terhadap sektor pertanian. Kondisi ini selaras dengan tidak populernya jurusan pertanian PTN/PTS di kalangan generasi muda dibandingkan dengan jurusan kedokteran, teknologi informatika, pendidikan, ekonomi, teknik sipil, dan hukum. Mungkin saja generasi muda tersebut memandang petani adalah kasta rendah, sehingga mereka tidak mau jadi petani.
Faktor kedua, keluarga petani tidak mampu menggarap sendiri lahan pertaniannya. Rata-rata kepemilikan lahan setiap keluarga petani Sumenep kurang-lebih 1/2 ha. Akibat hal tersebut, lahan pertaniannya dijual pada pengembang, baik pengembang sektor properti, tambak maupun tambang. Ketika terjadi alih kepemilikan, maka alih fungsi lahan hampir pasti terjadi.