Pada tahun 2013 Dinas Pertanian Sumenep menyampaikan bahwa lahan produktif pertanian menyusut hingga 7.500 hektar (ha) per tahun (Kominfo Jatim, 2013). Empat tahun kemudian, pada tahun 2017 Nurus Salam, Ketua Komisi II DPRD Sumenep, mengatakan bahwa lahan pertanian Sumenep berkurang hingga 5% per tahun (Kumparan, 2017). Lahan ini berubah menjadi tidak produktif karena alih fungsi lahan.
Menurut pendapat tersebut, artinya terdapat serangan terhadap eksistensi ketahanan pangan Sumenep. Serangan tersebut sudah di ambang batas rasionalitas, sehingga potensial mengancam keberlanjutan hidup masyarakat dan generasi berikutnya di Sumenep. Ideologi developmentalisme dalam hal ini membawa daerah ini ke dalam situasi yang kritis. Yakni, suatu keadaan dimana daerah ini potensial menjadi tidak layak huni, terutama masyarakat petani dan nelayan. Tanpa kesadaran kolektif menjaga sistem geologis bukan mustahil tragedi Nauru akan menimpa Sumenep, dimana 75% wilayahnya sudah tidak layak huni akibat alih fungsi lahan dan penambangan yang luar biasa.
Reaksi masyarakat atas menipisnya lahan tersebut, diantaranya adalah dengan pembukaan lahan baru. Wilayah yang sebelumnya sebagai hutan rakyat, yang kepemilikannya belum jelas, mulai dibuka, digunduli, dan dijadikan lahan pertanian/perkebunan. Tindakan ini berdampak buruk pada keberadaan marga satwa penghuni hutan dan lahan pertanian warga. Kera, misalnya, belakangan ini berkompi-kompi menyerang lahan pertanian dan perkebunan penduduk, bahkan menyerang rumah warga yang ditinggal kerja ke sawah atau ladang. Tentu, hal ini menjadi hama baru yang meresahkan dan bahkan bisa menghabiskan tanaman masyarakat.