Faktor ketiga, soal gengsi. Bagian ini mempunyai banyak variabel yang melatarbelkangi, misalnya kebutuhan buatan untuk menaikkan status sosial. Biaya perjuangan untuk meraih jabatan tertentu dalam instansi pemerintahan atau untuk naik haji memang memerlukan finansial yang cukup. Bukan tidak paham bahwa kewajiban haji itu hanya bagi yang mampu, tetapi juga terbersit gengsi (derajat) sosial yang sudah pasti naik kelas.
Faktor keempat, tekanan hidup. Ini kebutuhan dasar yang menimpa karena pengaruh sistem yang kurang berpihak sehingga sejak lahir jadi petani sampai mendekati akhir hayat tidak kunjung berdaya, bahkan minus. Jalan keluar termudah menurut sebagian besar petani adalah jual lahan pertanian, terlebih lahan yang tampak tidak produktif di wilayah perbukitan. Padahal tanah tinggi yang menyerupai perbukitan sebenarnya adalah tandon air bagi kesuburan tanah di seluruh kawasan pulau, seperti dataran tinggi Kecamatan Batu Putih, deretan bukit Payudan adalah tempatnya penampungan alami bagi ketersediaan air. Namun apa hendak dikata, untuk bertahan hidup harus menjual lahan karena penguasa sering lupa hadir dan lebih sibuk mengurus data dan kertas di kantor.
Faktor kelima, kebijakan pemerintah. Ruang publik, ruang konservasi, lahan satwa lindung, lahan lindung, dan lahan pertanian Sumenep belum banyak dipahami oleh masyarakat atau bahkan mungkin tidak jelas regulasinya. Terkadang masyarakat Sumenep over-policy, maksud hati ingin mengundang investor tetapi di lapangan justeru menjual lahan kepada orang luar yang tujuannya belum dipahami secara seksama.
Faktor keenam, tersihir rayuan manis pihak pengusaha agar tanah leluhurnya dijual. Pernah di suatu kecamatan ada tokoh muda yang justru membentangkan karpet merah untuk pengusaha raksana. Tokoh tersebut, ikut melobi atau jadi calo penjualan tanah tetangganya sendiri karena tergiur honornya yang banyak.